Page 347 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 347

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           tersosialisasi haram sejak kecil menyatakan keherannya, mengapa diharamkan,
           karena ia tidak melihat kemusyrikan dan kemaksiatan di dalamnya.  Kedua,
           cerita dari seorang santri dari Tasikmalaya (Jawa Barat) begini. Sang kiai,
           suatu sore, sedang memberikan pengajian kepada sekitar 40 orang santrinya.
           Kitab yang dikaji adalah  Sulam al-Taufiq, yang kebetulan sedang membahas
           soal alatulmalahi, alat-alat musik yang diharamkan. Dengan semangat kiai itu
           menjelaskan apa saja alat musik sekaligus musik-musik yang haram didengar
           dan dimainkan, termasuk alat musik dangdut. Tetapi pada saat bersamaan, jari-
           jari tangan kanan pak kiai mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama dangdut
           yang terdengar dari pengeras suara tetengga pesantren yang sedang hajatan.

           Mungkin dapat dipahami bahwa kedua cerita itu, dan penegasan kiai Wahab
           Zarkasyi di atas, jika kemudian mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan
           seputar hubungan agama dan kesenian tradisi. Apakah pandangan dan sikap
           non-akamodatif oleh sebagian kaum muslim tersebut murni masalah agama
           atau justru merupakan persoalan relasi kuasa? Bukankah stigma dan fatwa itu
           sendiri adalah sesuatu yang diproduksi atas interaksi sosial antar komunitas yang
           berbeda? Meski pertanyaan itu tidak akan memeroleh jawaban memuaskan
           dalam tulisan ini, namun paparan singkat, terfokus dalam bentuk kasus-kasus
           berikut diharapkan, selain mengelaborasi lebih rinci paparan general di atas pada
           level mikro, akan lebih menguatkan argumen mengapa pertanyaan tersebut
           mengemuka.











           Reyog Ponorogo






           Sebelum tahun 1994, reyog merupakan kesenian rakyat yang dipertunjukkan
           dalam bentuk arak-arakan (atau iring-iringan) mengelilingi kampung atau desa
           melalui jalan utamanya. Kelana Sewandono dan bujangganong berada paling
           depan, diiringi para jathil, singobarong, pemusik, dan para warga masyarakat
           yang berminat menyertainya. Di Ponorogo dan daerah-daerah dimana migran
           Ponorogo mendominasi, pertunjukan reyog selalu menarik perhatian ratusan
           warga (anak-anak, orang dewasa dan tua, dan laki-laki-perempuan) kampung
           atau desa yang bersangkutan dan sekitarnya untuk tidak hanya menyaksikan
           tetapi juga partisipasi sebagai peserta arak-arakan yang diawali dari rumah
           si penanggap (untuk  berbagai hajatan) dan diakhiri juga di rumah yang
           bersangkutan. Di setiap perempatan jalan yang dilalui, arak-arakan berhenti






                                                                                                333
   342   343   344   345   346   347   348   349   350   351   352