Page 350 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 350

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    Perubahan pertunjukan di awal 90-an tersebut ternyata harus dilegitimasi oleh
                                    mitos asal-usul reyog yang pada saat itu didaratkan pada tiga tokoh, Ki Ageng Kutu
                                    Suryongalam, Kelana Sewandono (kerajaan Bantarangin), dan Betara Katong.
                                    Kalangan birokrasi, elite politik, beberapa budayawan, sejumlah warok, dan
                                    sebagian tokoh agama (Islam) di Ponorogo mengembangkan diskursus tentang
                                    asal-usul reyog yang ternyata sangat berpengaruh pada teks pertunjukan yang
                                    dihadirkan. Ki Ageng Kutu Suryongalam (disebut Kutu)  adalah salah seorang
                                    pujangga Majapahit di masa pemerintahan Bhre Krtabhumi akhir abad ke 15
                                    yang meninggalkan pusaran istana karena kecewa terhadap sang raja yang tidak
                                    mengindahkan saran-sarannya untuk mengatasi keadaan kerajaan yang runyam
                                    saat itu. Sang raja lebih mendengar suara isteri dari Cina yang bersama Sunan
                                    Ampel telah memulai gerak Islamisasi di wilayah itu. Ki Ageng Kutu menyingkir
                                    ke wilayah yang kemudian bernama Ponorogo dan  mendirikan pedepokan di
                                    suatu tempat yang belakangan bernama desa Kutu (sekitar 17 km selatan kota
                                    Ponorogo). Selain tidak bersedia patuh dan membayar opeti kepada raja, Kutu
                                    menciptakan kesenian, disebut reyog sebagai sindiran (satire) terhadap Bhre
                                    Krtabhumi yang menurutnya telah dikooptasi oleh isterinya yang disimbolisasi
                                    dengan kepada harimau (sang raja) diduduki oleh burung merak (perempuan),
                                    dikawal para prajurit perempuan (jathil terdiri dari anak-anak laki-laki berpakaian
                                    perempuan), dan digoda (diejek) oleh bujang ganong, alih nama dari pujangga
                                    Anom, jabatan Ki Ageng Suryangalam ketika mengabdi di Majapahit. Reyog
                                    versi Kutu tidak bersifat naratif, tidak mengandaikan adanya cerita, melainkan
                                    bersifat satire atau semacam parodi, karena itu dalam versi ini tidak ada
                                    Kelana Sewandono, yang ada hanyalah singobarong sebagai representasi Bhre
                                    Krtabhumi dan Bujangganong sebagai Ki Ageng Kutu. Pertunjukan arak-arakan
                                    seperti dipaparkan sekilas diatas, yang sebagian memang tidak menampilkan
                                    Kelana Sewandono, meski tidak sepenuhnya tepat, merepresentasikan versi ini.

                                    Dalam kenyataannya sekarang, pertunjukan versi Kutu ini telah musnah
                                    dari peredaran; pertunjukan reyog iring-iringan yang kini kadangkala
                                    diselenggarakan juga sudah berubah dengan memasukkan Kelana Sewandana
                                    di dalamnya. Penelusuran Desantara (lembaga kebudayaan berpusat di Jakarta)
                                    pada tahun 2003-2004 untuk menyaksikan sisa-sisa reyog Kutu di sekitar 14
                                    desa di Ponorogo ternyata tidak menemukan satu pun pertunjukan versi itu.
                                    Yang tersisa hanyalah ingatan dari sedikit mantan konco reyog seperti mbah
                                    Bikan, mbah Gani, mbah Mardi, mbah Misdi, dan mbah Tubari (para pemain
                                    reyog sejak akhir tahun 40-an hingga awal tahun 60-an) bahwa pertunjukan
                                    reyog versi Kutu (tanpa Kelana Sewandana) pernah mereka saksikan ketika
                                    mereka masih anak-anak (sebelum tahun 40-an. Mereka tidak tahu – atau tidak
                                    mengingat – kapan dan bagaimana proses masuknya Kelana Sewandana dalam
                                    teks pertunjukan reyog terjadi, apalagi siapa yang memprakarsainya. Suara
                                    gaduh  dan  perdebatan  seru  terjadi  ketika  sebuah  pertunjukan  reyog  tanpa
                                    Kelana Sewandana dan tanpa warok (versi Kutu) menyelip dalam hajatan besar
                                    Grebeg Suro tahun 2003 yang didominasi oleh pertunjukan reyog Bantarangin
                                    atau Betara Katong. Pertunjukan reyog versi Kutu yang dimainkan oleh grup





                    336
   345   346   347   348   349   350   351   352   353   354   355