Page 349 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 349

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           eksistensinya  sebagai manusia meningkat. Yang barangkali berbeda adalah,
           bahwa di dalam ruang itu tidak terkesan adanya refleksi norrmatif dalam arti
           penimbaan ajaran-ajaran dan adat istiadat untuk membentuk diri sebagai
           anggota masyarakat (dengan posisi) yang baru, sebuah sifat liminalitas lain yang
           ditegaskan Turner menonjol dalam masyarakat Ndebu (Afrika).

           Berawal dari satu tempat, berkeliling, berhenti sejenak di perempatan, dan
           akhirnya kembali ke tempat semula, menurut Mbah Wo Kucing (warok reyog
           dari Sumoroto, 12 km  arah barat kota  Ponorogo) sebagai penggemabaran
           dari proses kehidupan manusia dari lahir hingga mati. Bagi orang Ponorogo,
           khususnya konco reyog, hidup manusia berasal dari suatu kekuatan dan
           akhirnya kembali ke kekuatan yang sama. Di sepanjang kehidupannya manusia
           tak ubahnya seperti mengelilingi relung-relung dalam sebuah ruang dengan
           pencapaian tahapan-tahapan  tertentu sebagai digambarkan dalam iker di
           perempatan. Lahir, sunat, akil balik, kawin, dan mati adalah proses pentahapan
           psikologis dimana manusia memproses kembali ke asalnya (Jerome Weiss,
           1977; 41).  Iring-irngan adalah sebuah perjalanan hidup seorang anak manusia,
           sementara iker merupakan prosesi-prosesi yang mewarnai perjalanan hidup
           itu sebagaimana yang dikonsepsikan sebaia lingkaran (siklus) hidup. Dengan
           demikian, pertunjukan reyog tampak dimaksudkan sebagai gambaran sebuah
           kebhidupan manusia sekaligus semacam “peringatan” bahwa betapa pun ia
           akan kembali ke asalnya.

           Pada tahun 1993, pertunjukan reyog mulai berubah. Bermula dari sebuah
           sarasehan di Pendopo kabupaten Ponorogo (Maret 1993) yang menghasilkan
           rekomendasi  utama:  “reyog  harus  dilestarikan,  dibina,  dan  dikemas  dalam
           rangka kebutuhan pariwisata serta disesuaikan dengan kebudayaan nasional”,
           reyog dan pertunjukannya banyak mengalami perubahan bukan oleh  konco
           (pendukung) reyog melainkan oleh pemerintah daerah Ponorogo dan tokoh-
           tokoh yang dipercayainya. Dalam konteks pertunjukan, perubahan yang sangat
           penting adalah penciptaan setting panggung, masuknya para warok, dan
           perang-perangan yang kemudian,  perubahan itu, dibakukan dalam  bentuk
           festival tahunan di Ponorogo (setiap awal bulan syuro pada event  Grebeg
           Suro). Dalam reyog panggung ini, pertunjukan berlangsung sekitar 30-45 menit
           (seluruhnya diatas panggung), menyajikan episode-episode: perang-perangan
           para warok (biasanya antara 10-16 warok) yang berbaris di sudut kiri dan
           kanan panggung; tari para jathil, dan perang antara kelana sewandono dan
           singobarong yang berakhir dengan kemenangan telak Kelana Sewandono.
           Meski sesekali pertunjukan reyog arak-arakan masih dapat kita saksikan di
           Ponorogo dan daerah migran Ponororgo seperti Jember, Jawa Timur, namun
           pertunjukan reyog panggung (banyak konco reyog di Ponorogo menyebut reyog
           festival), pengaruh hasil olahan pemerintah tersebut cukup signifikan; beberapa
           pertunjukan  reyog  panggung  juga  mulai  sering  kita  saksikan  di  kampung-
           kampung.







                                                                                                335
   344   345   346   347   348   349   350   351   352   353   354