Page 348 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 348

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    sebentar melakukan adegan yang dalam bahasa setempat disebut iker, dimana
                                    pembarong memperlihatkan kebolehannya memainkan barongan (dhadhak
                                    merak)  atas  “godaan”  para  jathil,  Kelana  Sewandono,  dan  bujangganong.
                                    Semakin  seru  “godaan”  atau  candaan  (bukan  dengan  suara  atau  bahasa
                                    verbal, melainkan dengan gerak tubuh), semakin bernafsu pula pembarong
                                    menguras kemampuannya memainkan barongan, bahkan sampai berguling-
                                    guling, menelungkupkan barongan hingga menyentuh tanah, dan mengangkat
                                    kembali dengan memanggul jathil yang duduk diatas kepala singa.

                                          Effendy (1998a; 215) melukiskan:
                                          Pertunjukan reyog diawali dengan sebuah upacara sesaji (membakar
                                          kemenyan diatas dupa yang diletakkan di depan barongan, ditaburi
                                          kuntum bunga kanthil  dan parem) dengan mantra-mantra pangirupan
                                          dan pengabaran untuk pengasih dan wibawa yang dipimpin seorang
                                          dukun  di  rumah  yang  empunya  hajat  (penanggap).  Dari  rumah  itu,
                                          pertunjukan iring-iringan berangkat mengelilingi desa dengan melakukan
                                          iker di 3-4 perempatan yang dilalui kemudian kembali ke tempat semula
                                          (si penanggap). Sepanjang iring-iringan yang berlangsung, pada pukul
                                          13.00 sampai dengan 17.00 itu, tari yang suguhkan adalah tari bebas
                                          dan terbuka bagi siapa saja yang ingin berpartisipasi. Diiringi gending
                                          panaragan atau patrojayan mereka menari sambil menyanyi bersama
                                          sambil menyuarakan senggaan sehingga mengesankan terbangunnya
                                          sebuah emosi komunal (kolektif) yang menyerupai keadaan liminalitas
                                          dalam konsepsi Victor Turner (1982). Dalam setiap iker dipertunjukkan
                                          beberapa tari komunikatif antara jathil, barongan, topeng, dan hampir
                                          selalu dilengkapi dengan tarung dadak merak, sebuah tari tarung
                                          antara dua barongan untuk adu kekuatan (kehebatan) sebagai adegan
                                          puncaknya. Pertunjukan iker berlangsung sekitar 15-25 menit.





                                    Suara gemuruh yang dalam cerita rakyat Reyog Ponorogo dilukiskan lir bata
                                    rubuh dalam iring-iringan pertunjukan reyog merupakan puncak integrasi konco
                                    reyog dalam kesadaran kosmis. Sebuah integrasi kesadaran yang mengantarkan
                                    konco reyog hadir dalam suasana sakral, dimana setiap subjek dipisahkan dari
                                    masyarakat kehari-hari, atau mengalami kesadaran lain dengan dunia fenomenal,
                                    sebuah dunia yang terbedakan. Turner (1982; 95-96) menggambarkan dunia
                                    semacam itu sebagai liminalitas, dalam pengertian suatu tahap atau periode
                                    dimana subjek ritual mengalami suatu keadaan yang ambigu, tidak di sana
                                    dan tidak  disini. Iring-iringan dan iker  dalam pertunjukan reyog mengantar
                                    konco reyog pada sebuah “ruang” ambang pintu. Di sana setiap konco reyog
                                    mengalami keadaan ketidak-beradaan, sebuah pengalaman yang oleh Turner
                                    disebut “anti-struktur”. Dalam ruang itu pula setiap konco reyog mengalami
                                    liminalitas yang menurut Turner merupakan sifat dasar manusia, kesadaran dan







                    334
   343   344   345   346   347   348   349   350   351   352   353