Page 354 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 354

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    Lepas dari kesulitan pembuktian empirik ideologi dan agama dalam sebuah
                                    kesenian dan para pendukungnya, dan lepas pula dari kenyataan bahwa
                                    persentuhan Islam dengan reyog lebih dimotivasi oleh kepentingan pragmatis
                                    (politik), peristiwa di akhir masa Orde Lama itu tampaknya merupakan titik
                                    awal persentuhan langsung Islam dan reyog secara lebih intensif. Kebangkitan
                                    reyog di awal 70-an setelah melewati masa vakum beberapa tahun, meski lebih
                                    didorong oleh kekuatan dalam diri (inner) masyarakat Ponorotgo khususnya
                                    konco reyog, bersamaan dengan peningkatan dramatis kehidupan beragama
                                    di semua tempat dan di semua lapisan masyarakat negeri ini. Tragedi 65, sisi
                                    lain  yang  juga  penting, adalah  peristiwa  yang tidak  saja  menjadi  pembatas
                                    dua orde politik tetapi juga menebarkan dan menguatkan citra (image) bahwa
                                    komunisme adalah hantu yang terlarang. Siapa pun, warga negara Indonesia,
                                    menjadi ketakutan dikategori sebagai komunis, dan seperti kesaksian di banyak
                                    tempat termasuk di Ponorogo, setiap  orang dihadapkan  pada satu pilihan,
                                    beragama resmi (Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha), dan jika tidak ingin
                                    dikandangkan dalam kategori komunis. Bukankah keputusan MPRS No. XXV
                                    tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI serta penyebaran segala
                                    bentuk ajaran komunisme/marxisme/leninisme sekaligus mengharuskan setiap
                                    warga negara Indonesia  memeluk salah  satu agama resmi. Dalam konteks
                                    Kristen, Singgih Nugroho (2008; 244-248) melihat bahwa perpindahan dari
                                    kepercayaan lokal dan komunisme (para Tapol) ke agama resmi (Kristen) di
                                    Ngampel, Semarang lebih berkaitan dengan kekerasan massal pasca peristiwa
                                    65 baik oleh tentara maupun sebagian kalangan masyarakat (termasuk kalangan
                                    ormas keagamaan) yang mempunyai ‘ideologi’ anti-komunis.


                                    Situasi sosial di Ponorogo, dampak dari citra tersebut sebagaimana menjadi
                                    cerita umum di daerah itu, sangat diwarnai oleh maraknya identifikasi ke-santri-
                                    an yang merata di semua tempat. Aktivitas sosial masyarakat Ponorogo nyaris
                                    selalu dikaitkan dengan langgar atau masjid, demikian pula simbol-simbol
                                    keislaman semarak ditampilkan dalam pergaulan soaial sehari-hari. Effendy
                                    (1998a; 224) menyebutkan bahwa beberapa sumber di Sumoroto, Balong, dan
                                    Tamansari (beberapa daerah konsentrasi warok dan reyog) melukiskan betapa
                                    ramainya langgar dan masjid juga oleh mereka yang sebelumnya hampir tak
                                    mengenalnya pada kegiatan-kegiatan ritual dan sosial apapun, suasana yang
                                    tak pernah terjadi sebelum 65. Para warok dan konco reyog bisa dipastikan
                                    ketakutan apabila dikategori sebagai bukan santri, meskipun secara ideologis
                                    bukan komunis. Abangan sebagai label dominan sosio-kultural konco reyog
                                    dan komunisme sebagai ideologi  menjadi tumpang-tindih  dan campur-aduk,
                                    mungkin sengaja dibuat seolah-olah tak berbeda.

                                    Keharusan-keharusan sosial yang lebih berkaitan dengan “keselamatan” seperti
                                    itu mau-tak-mau mendorong  konco  reyog untuk mengadopsi simbol-simbol
                                    keagamaan (Islam) ketika kesenian mereka hendak dimunculkan kembali.
                                    Mungkin karena keagamaan yang selama ini melekat di dalam reyog tidak perlu
                                    diwujudkan secara kasat mata, pelabelan dalam bentuk semacam tempelan
                                    sebagai penanda santri menjadi agak aneh.



                    340
   349   350   351   352   353   354   355   356   357   358   359