Page 371 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 371

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           seperti organ, gitar, dan lain-lain; alat musik lama seperti babun, suling, dan
           biola masih tersedia dan hanya dibunyikan ketika mengiringi adegan kerajaan.     Mamanda Tubau
                                                                                          tidak lagi bernuansa
           Pemeran perempuan di mamanda Tubau juga sudah tidak lagi diperankan laki-      tradisional, lagu-lagu
           laki muda, melainkan oleh perempuan sendiri. Pemeran perempuan dalam grup      yang dilantunkannya
           mamanda Sampuraga (pimpinan Bahrani) dari Sungai Hulu Selatan, misalnya,         didominasi oleh
           telah diperankan oleh Itah (permaisuri), Rika Ayu Zainab (putri raja), dan Idang   lagu-lagu pop dan
           (juga sebagai putri raja). Dalam perkembangannya, mamanda Tubau ternyata      Melayu, demikian pula
                                                                                          alat musiknya telah
           lebih pesat dan meluas daripada mamanda Periuk. Grup-grup mamanda di          ditambah dengan alat-
           daerah Hulu Sungai (Tengah dan Selatan) dan Banjarmasin hampir seluruhnya       alat musik modern
           beraliran Tubau.                                                               seperti organ, gitar.
                                                                                          Pemeran perempuan
                                                                                           di mamanda Tubau
           Perkembangan mamanda di Kalimantan Selatan memuncak pada pasca                 juga sudah tidak lagi
           kemerdekaan hingga 1965. Tidak diperoleh data berapa jumlah grup mamanda       diperankan laki-laki
           kala itu, namun kebanyakan hajatan perkawinan, khitanan, tasyakuran, pesta    muda, melainkan oleh
           kampung, dan sejenisnya, terutama di tiga kabupaten tersebut, diramaikan       perempuan sendiri.
           dengan  pementasan  mamanda.  Tampaknya,  mamanda  sangat    mengakar  di
           kalangan masyarakat Kalimantan Selatan, bahkan mungkin telah menjadi
           bagian dari hidup dan kehidupan sebagian besar orang Banjar. Keberadaan
           mamanda di  Tembilahan, Indragiri  Ilir  yang dirintis  dan dikembangkan oleh
           para migran Banjar di daerah itu mungkin menjadi penanda bagaimana orang
           Banjar tidak  bisa  lepas dari  kesenian ini.  Arbain, seorang migran  Banjar di
           Tembilahan, pada sekitar tahun 1947, bersama para migran Banjar yang lain
           merintis mamanda dan memberi nama grupnya Parit Empat Belas. Pada tahun
           1950, Arbain menyerahkan kepemimpinan grup itu kepada Usman Ancau
           yang ternyata mampu mengembangkan kesenian itu sehingga diparesiasi oleh
           penduduk yang bukan migran Banjar, dan sejak tahun 1960 Usman mulai
           mengembangkan cerita-cerita yang dilakonkan dan menambahinya dengan
           alat-alat  musik  modern  seperti  accordion,  gitar,  dan  biola.  Seusai  peristiwa
           65, mamanda Tembilahan berhenti, dan bangkit kembali pada tahun 1968
           diprakarsai oleh Abdul Hamid yang ternyata menjadi berkembang dan meluas
           sehingga pad tahun 70-an berdiri 12 grup mamanda di Tembilahan. Namun
           sejak tahun 80-an mamanda di Tembilahan ini harus menerima takdir pahitnya,
           pelan-pelan memudar dan belakangan (pasca tahun 2000) hanya tersisa satu
           grup, yaitu Parit Empat Belas.

           Tampaknya, hal sama juga dialami oleh mamanda di Kalimantan Selatan,
           kampung tempat ia lahir dan berkembang. Pada tahun 1999, seperti dilaporkan
           Ninuk Kleden (2008), para penilik kebudayaan se-propinsi itu mencatat bahwa
           grup mamanda sebanyak 13 grup: 6 grup di kabupaten Tapin dimana tempat
           awal mula mamanda, Margasari berada; 4 grup di kabupaten Hulu Sungai
           Tengah; dan 3 grup di kabupaten Hulu Sungai Selatan. Akan tetapi pada tahun
           2000, di Margasari sendiri sudah tidak lagi pertunjukan mamanda, kecuali
           pada peringatan HUT kemerdekaan. Di Hulu Sungai Selatan, satu-satunya grup
           mamanda yang kini masih tersisa (bertahan) adalah grup Sampuraga di Karang
           Jawa. Keadaan yang memprihatinkan, karena itulah berbagai upaya revitalisasi





                                                                                                357
   366   367   368   369   370   371   372   373   374   375   376