Page 375 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 375

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           kepala Bali. Sedangkan penari gandrung menggunakan busana yang rumit. Di
           kepalanya tertancap omprok, semacam mahkota yang terbuat dari kulit lembu
           atau kerbau disungging ragam hiasan bermotif dedaunan, dengan  cundhuk
           mentul dari logam tipis yang lentur bergoyang, dan dihiasi dengan motif naga
           berkepala gatotkaca. Di tubuhnya, dari dada hingga sedikit diatas betis dibalut
           dengan kain batik motif gajah oleng berwarna dasar putih, dan dadanya
           ditutup dengan  uthuk (semacam kutang), berbentuk hampir menyepupai
           segi tiga dengan satu ujung jatuh di bawah leher, yang terbuat dari beludru
           bersulam manik-manik. Penari gandrung juga memakai  ilat-ilat dan  lamak,
           juga menggunakan kain beludru sewarna uthuk dan bersulam, terjuntai dari
           pangkal leher sampai di bagian bawah perut. Pinggang penari diikat dengan
           pending, sebuah ikat pinggang yang terbuat dari logam keemasan atau putih
           perak. Setiap penari gandrung, sebagaimana umumnya penari tradisional di
           Jawa, selalu melengkapi dirinya dengan sampur, selembar selendang panjang
           menutup pundak/bahu, dan ujungnya terjuntai ke bawah hingga menyentuh
           mata kaki, yang berfungsi untuk mempertegas desain gerak, menghidupkan
           getaran tari, dan satu-satunya bagian yang boleh disentuh  pemaju. Dalam
           pertunjukan gandrung, sampur juga berfungsi untuk mengingatkan pemaju
           yang berlebihan dengan cara mengibaskan ke arah muka atau tubuhnya. Meski
           menari diatas tanah, penari gandrung selalu memakai kaos kaki kebanyakan
           berwarna putih.


           Pertunjukan gandrung berlangsung hampir semalam penuh, mulai pukul 21.00
           dan berakhir sekitar pukul 04.00 dini hari; dahulu, bahkan sampai melewati
           subuh. Ia terbagi ke dalam tiga bagian: Jejer, Paju, dan Seblang-seblang.
           Jejer(berbentuk tari dengan iringan musik) adalah bagian pembuka, berlangsung
           sekitar 45 sampai 60 menit, dimaksudkan untuk memberi penghormatan
           kepada tuan rumah (penanggap), seluruh tamu yang hadir, dan penonton,
           di samping tersirat ungkapan permohonan agar hajatan mendapat berkah.
           Jejerdiawali dengan ajakan penabuh kluncing untuk memulai pertunjukan,
           dan dengan iringan musik gegap gempita,  penari gandrung pun lalu tampil
           menyajikan tariannya sembari mengibaskan kipas, memutar arena, bahkan
           sesekali mendekati tuan rumah, atau kedua mempelai, atau anak yang dikhitan.
           Dan usai adegan dengan gempita musik dan tari dinamis ini, pertunjukan pun
           lalu berubah menjadi gemulai, saat musik berirama lembut mengiringi lagu
           podho nonton dengan tariannya yang khas. Sebuah lagu dengan lirik penuh
           kata-kata simbolik agar tak diketaui lawan dan tersusun puitis yang konon untuk
           menggugah semangat rakyat Blambangan berjuang menghadapi Belanda,
           meski pun tetap dilantunkan dengan tetap menjaga ritme vokal sebagai lagu
           penghormatan. Lagu ini, seperti dikatakan Oetomo (1987:115), diciptakan pada
           tahun 1780, masa bupati Banyuwangi ke-2, Tumenggung Mas Wiraguna II (Mas
           Thalib) untuk melukiskan peristiwa penangkapan massal gerilyawan di desa
           Gendoh, Singojuruh.








                                                                                                361
   370   371   372   373   374   375   376   377   378   379   380