Page 378 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 378
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Semi pun ditasbihkan sebagai gandrung perempuan pertama. Tetapi, apa
hubungan antara gandrung dan seblang, tokh nadzar ibu Semi tidak menyebut
gandrung? Bukankah seblang di Banyuwangi, sebagaimana dilukiskan oleh
Scholte (1927), merupakan ritual kesuburan yang berkaitan dengan mitos Dewi
Sri dan ketenteraman desa yang hingga kini masih terselenggara rutin (setiap
tahun) di desa Olehsari dan Bakungan? Meski kurang memuaskan, keterangan
yang ada hanya menyebutkan bahwa gandrung Banyuwangi merupakan
perkembangan dari seblang, bahkan ada yang menyatakan berasal dari ritual
yang telah ada sejak pra-Hindu itu. Dalam kenyataannya, setelah gandrung
perempuan berkembang di awal abad ke-20 banyak memiliki kemiripan-
kemiripan dengan seblang. Paul Wolbers (1992), etnomusikolog yang meneliti
gandrung dan seblang dari sudut disiplin itu, menjelaskan bagaimana hubungan
lagu-lagu gandrung yang begitu dekat dengan nyanyian-nyanyian dalam ritual
seblang. Kecuali adegan pembuka, jejer dan penutup, seblang-seblang, lagu-
lagu seperti podho nonton, seblang lukento, sekar jenang, kembang pepe,
sodreng-sodreng, cengkir gading, dan pundak sempal merupakan bukti
kemiripan-kemiripan tersebut, karena sederet lagu-lagu itu dilantunkan di ritual
seblang dan gandrung.
Banyak orang berspekulasi tentang perubahan radikal gandrung lanang ke
gadrung perempuan tersebut. Pertama, bahwa perubahan itu ada kaitannya
dengan pandangan Islam yang waktu telah berkembang luas di Banyuwangi
bahwa memerankan perempuan oleh laki-laki (tranvestisme) dan sebaliknya
adalah perilaku yang diharamkan. Para ulama mendasarkan keharaman itu
pada sebuah hadits Nabi (atau aqwal/pendapat ulama?): man tasyabah bi
qaumin, fahuwa minhum (barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah
tergolong mereka), yang diyakini dan dipegang teguh oleh kebanyakan ulama
sampai sekarang. Mereka mengharamkan pemeranan perempuan oleh laki-laki
dan sebaliknya, karena, selain hal itu akan berdampak pada kejiwaan orang
yang melakukannya, juga akan menyulitkan pada pendefisian status yang akan
berpengaruh pada penetapan hukum, seperti hukum waris, misalnya. Asumsi
itu mungkin benar, tetapi dalam kenyataan selanjutnya, terdapat beberapa desa,
seperti desa Penataban di kota Banyuwangi dimana Islam mengakar kuat disana,
menolak keras pertunjukan gandrung karena menggunakan gong sebagai salah
satu alat musiknya, meski penarinya telah berganti menjadi perempuan.
Kedua, bahwa hal itu dapat dibaca dalam konteks perubahan sosial yang
mengarah pada terbentuknya formasi sosial baru di Banyuwangi pada akhir
abad ke-19, akibat pembukaan wilayah secara besar-besaran untuk area
perkebunan milik Belanda. Seperti dipaparkan Dick, Fox, dan Mackie (1997),
setelah jalan raya pos yang berhenti di Panarukan tembus hingga di ujung timur
(Banyuwangi), dan setelah jalan tembus Banyuwangi-Jember terampungkan
awal paruh kedua abad ke-19, Belanda segera membuka perkebunan kopi
dalam skala besar dan tersebar di banyak tempat di banyuwangi, terutama di
364