Page 383 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 383

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Semi menciptakan lagu-lagu bercorak keislaman seperti santri mulih, dan pak
           haji, dan mengkreasi ulang lagu-lagu hadrah yang saat itu cukup terkenal seperti
           shalatun wataslimun (syair-syair barjanzinya Al-Busyairi) untuk dilantunkan
           dalam pertunjukan gandrung. Bahkan belakangan, penari gandrung seperti
           Poniti (populer tahun 70-an hingga 80-an) dan Temu (primadona gandrung
           90-an hingga sekarang) sering harus memenuhi permintaan lagu-lagu bercorak
           keislaman seperti yang dipopulerkan Emha Ainun Najib dan Opick.


           Tahun 90-an hingga dasawarsa pertama abad 21, respon dan kritik kaum
           muslim terhadap gandrung meningkat signifikan. Insiden aksi kekerasan fisik,
           seperti pembubaran paksa pertunjukan gandrung memang tidak pernah terjadi,
           tetapi sorotan dan tudingan bahwa gandrung identik dengan alkohol, bahwa
           gandrung mengumbar maksiat,  bahwa penari  gandrung adalah prostitusi
           terselubung, bahwa gandrung tidak sesuai dengan akhlak Islam yang dipeluk
           mayoritas penduduk Banyuwangi, dan seterusnya teramat sering terdengar oleh
           penari dan para pendukung gandrung sendiri, karena tudingan-tudingan itu
           disampaikan melalui berbagai media (radio, khutbah jum’at, pengajian majlis
           taklim, dan perjumpaan-perjumpaan tidak resmi). Semua itu mengantarkan
           para penari gandrung seolah hidup dalam dunia: malam disanjung dan dipuja,
           dan siang dicerca dan dicaci maki. Memang tak semua ulama, kiai pesantren,
           para ustadz, mubaligh, dan para santri puritan berpandangan negatif terhadap
           gandrung. Ketika tuduhan-tuduhan itu mengemuka, selalu saja ada ulama
           atau kiai pesantren yang membelanya, tentu dengan argumen-argumen yang
           juga Islami, tetapi dengan perspektif dan penafsiran yang berbeda. Mungkin,
           lantaran pembelaan-pembelaan itulah, para penari dan pendukung gandrung
           menujukkan sikap pasifnya, dengan tetap melakkan  aktivitas pertunjukan
           seolah tanpa persoalan. Temu, penari gandrung dari desa Kemiren menyikapi
           kalem: ”ingsun iki kerja, apa bedane karo nyambut gawe liyane kaya dodolan
           ring pasar.”


           Para seniman gandrung kini  tengah menonton guliran sejarah  yang aneh.
           Dahulu, di awal abad ke-20, pengaruh dan corak kehinduan dalam gandrung
           menjadi bulan-bulanan agama untuk dihapuskan, tetapi memasuki abad ke-21,
           hampir seabad kemudian, justru pengaruh dan corak kehinduan harus diburu
           dan  dihidupkan  kembali,  tentu  dengan  argumen  dan  maksud  yang  berbeda
           dan oleh kekuatan yang tidak sama. Dengan aman, gandrung  akan tetap
           melenggang dengan watak dan karakternya sendiri, tokh yang kini bertarung
           adalah dua kekuatan yang benar-benar di luar gandrung.




                                                   Bisri Efendy dan Jabatin Bangun









                                                                                                369
   378   379   380   381   382   383   384   385   386   387   388