Page 382 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 382

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    Identitas dan pariwisata, yang menjadi target proyek revitalisa itu, memang
                                    harus bertumpu pada konservasi. Identitas sebagai konstruksi politis hanya ada
                                    (berwujud) ketika “diri” dan “yang lain” berhasil dirumuskan, dan cara yang
                                    paling  mudah  merumuskannya  adalah,  antara  lain,  dengan  mengidentifikasi
                                    diri ke “masa lalu”, sesuatu yang tak pernah ada, tak pernah terjadi, dan tak
                                    pernah dialami oleh orang lain. Sementara pariwisata sangat mengandalkan
                                    eksotisme (sesuatu yang aneh, unik, lain-dari yang lain, tetapi bersifat samar-
                                    samar antara realitas dan ilusi), karena hanya dengan eksotisme itulah orang
                                    melakukan perjalanan. Oleh karena eksotisme itu sendiri dalah bikinan, ciptaan,
                                    dan konstruksi, maka aktivitas pariwisata bukan untuk mencari mana yang
                                    eksotis dan petensial dijual, melainkan diarahkan pada bagaimana menciptakan
                                    eksotisme yang kebanyakan diwujudkan dalam bermacam gambar rekaan yang
                                    segera membangun image. Dalam konteks kesenian, karena eksotisme itu akan
                                    semakin menonjol pada sesuatu yang hilang, maka pemburuan dan penemuan
                                    kembali (invented) menjadi aktivitas yang paling penting. Jadi, dengan demikian,
                                    identitas dan pariwisata bertemu dalam satu titik: pencarian dan pemburuan
                                    “masa lalu” gandrung yang hilang untuk ditetapkan sebagai penanda tertentu
                                    di masa kini.


                                    Dilematis memang konservasi itu. Mengelu-elukan gandrung sebagai milik
                                    atau identitas, dan pertunjukannya sebagai lukisan sejarah penindasan dan
                                    perlawanan  etnis  tertentu,  karenanya  mesti  ditarik  ke  “ruang  masa  lalu”,
                                    sementara gandrung sendiri telah berjalan jauh di medan terbuka, dalam ruang
                                    plural yang kompetitif-ekonomis, dan yang lebih penting telah mendefinisikan
                                    diri sebagai commercial art akibat keberadaannya di ruang terbuka itu. Dalam
                                    menyikapi semua itu, kebanyakan seniman gandrung lebih cenderung memilih
                                    “jalan  tengah”;  menyajikan  gandrung  dengan  pakem-pakem  yang  memuat
                                    kandungan historis seperti di masa lalu di tengah-tengah “audien resmi”, tetapi
                                    juga  mempertunjukkan  gandrung  bebas-terbuka  sesuai  kehendak penonton
                                    umum di kalangan masyarakat plural. Apakah dengan begitu berarti mereka
                                    telah menunjukkan kemampuan negosiasi atau perlawanan? Mungkin.

                                    Rupanya, gandrung tidak hanya berpengalaman menghadapi kekuatan politik
                                    (birokrasi),  sebaliknya,  dalam  sepanjang  sejarahnya,  ia  harus  berhadapan
                                    dengan kekuatan agama (Islam) dimana sebagian ulama dan pemeluknya yang
                                    puritan,  secara  laten  mengajukan  anjuran,  desakan, stereotipe, stigma, dan
                                    pengharaman terhadap gandrung. Di masa Semi, awal abad ke-20, misalnya,
                                    sorotan Islam terhadap gandrung yang mulai berkembang di seluruh Banyuwangi
                                    terfokus pada unsur-unsur Hindunya. Seperti dipaparkan diatas, gandrung saat
                                    itu mengadopsi banyak nyanyian dan tarian dari ritual seblang yang sinkretis
                                    atau bahkan animis, meski adegan dan tarian paju yang diciptakan Semi mampu
                                    menipiskan kesan kehinduan pada gandrung. Menyikapi pandangan kaum
                                    muslim itu, Semi tetap bertahan pada apa yang diciptakannya terutama soal
                                    hasil adopsi dari ritual seblang. Kemudian, dengan kreativitas yang cemerlang,







                    368
   377   378   379   380   381   382   383   384   385   386   387