Page 381 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 381

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           pertunjukan yang disajikan. Dalam konteks itu, mungkin karena maknanya
           semakin tidak terpahami, adegan seblang-seblang sebagai penutup pertunjukan
           semakin jarang, bahkan tidak ditampilkan kira-kira sejak tahun 1965. Tetapi,
           melalui proyek revitalisasi kebudayaan Using di masa bupati Djoko Supaat
           Slamet yang digulirkan awal 70-an hingga 80-an, adegan itu dianjurkan untuk
           disuguhkan kembali dalam setiap pertunjukan gandrung. Sebuah anjuran yang
           tidak sepenuhnya dipatuhi terutama bagi pertunjukan di daerah selatan dimana
           orang-orang Jawa (non Using) mendominasi. Sejumlah seniman/budayawan
           Banyuwangi  menyatakan  bahwa  peristiwa  itu  merupakan  perjumpaan  awal
           gandrung dengan kekuasaan negara.

           Melalui proyek  nJenggirat Tangi,  yang digelar bupati Syamsul Hadi (tahun
           2000-2005), revitalisasi kebudayaan Using mencapai puncaknya yang paling
           mencolok dimana gandrung menjadi sasaran utama. Gandrung, dalam proyek
           itu, diproyeksikan menjadi identitas – dan mascot - Using sekaligus daerah
           Banyuwangi yang diharapkan mampu meningkatkan pariwisata di daerah itu.
           Dengan  sangat  cepat,  pada  tahun  2003,  patung-patung gandrung dipajang
           menggantikan simbol daerah sebelumnya, ular naga berkepala gatotkaca,
           memenuhi setiap mulut gang atau pintu gerbang desa, bahkan di pintu masuk
           kota Banyuwangi dari arah Situbondo terpajang patung gandrung berukuran
           raksasa. Sesuatu yang menimbulkan kontreoversi dan konflik terutama dengan
           kalangan masjid seperti yang terjadi di Ketapang Agustus 2003 dimana
           pemajangan patung gandrung di depan pelabuhan yang persis bersebarangan
           dengan masjid jami’ Ketapang itu diprotes keras (demonstrasi) berhari-hari,
           yang akhirnya dipindahkan di bagian dalam pelabuhan. Bagaimana pun, patung
           memang diharamkan oleh sebagian besar kaum muslim.

           Dalam buku panduan tentang gandrung (bagian dari proyek revitalisasi) yang
           disusun Dewan Kesenian Banyuwangi (basis intelektual bupati Syamsul) dan
           diluncurkan  Desember  2003  tercatat  bahwa:  “Pertunjukan  gandrung  tidak
           lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat (Using).
           Perlawanan terhadap ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan
           negatif yang berulangkali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Using.” Bagian
           lain pengantar buku itu juga menegaskan gandrung sebagai ungkapan sejarah
           penindasan dan perlawanan orang Using, karena itu adalah sebuah citra yang
           harus dijaga keaslian dan keberadaannya. Gandrung yang sudah berubah,
           dalam  proyek  itu,  haruslah  dikonservasi,  ditarik  ke  “ruang  masa  lalu”  yang
           dikehendaki, melalui regulasi politik yang didominasi kelompok etnik tertentu,
           dan sebagian dari konservasi itu diwujudkan dalam bentuk pelatihan-pelatihan
           tari-nyanyi gandrung, yang dikenal dengan “akademi gandrung”, suatu aktivitas
           reguler yang berhasil melahirkan ratusan penari gandrung seperri yang digelar
           dalam  “Festival  Gandrung  Sewu”tahun  2012  dan  “Festival  Gandrung  Paju”
           tahun 2013.








                                                                                                367
   376   377   378   379   380   381   382   383   384   385   386