Page 380 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 380
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
dayung dan pecari putih (Bali), pangkur, sampak, eling-eling, puspowarno,
sekar gadung, pucung, kinanti, angleng, gunung sari, gembrot, jinaman uler
kembang, kembang glepang, gambirsawit, dan cluntang (Jawa). Di samping,
Semi sendiri juga menciptakan banyak lagu untuk merespons kebutuhan audein
yang terus berkembang, seperti lagu-lagu gumukan, ketelan, pak haji, dan santri
mulih. Bukan itu saja, Semi juga mengubah struktur pertunjukan menjadi yang
sekarang terwarisi dengan baik, terdiri dari jejer, paju, dan seblang-seblang,
sebuah sruktur pertunjukan yang tidak ada dalam pertunjukan gandrung lanang.
Apa yang dilakukan Semi memang menemukan konteks dan relevansinya.
Gandrung berjalan seiring dengan perubahan-perubahan kehidupan masyarakat
yang bukan saja semakin majemuk tetapi juga semakin kompleks, dengan seluruh
kemungkinnnya berdialog secara kreatif-dinamis. Kesaksian tetua di tahun 90-
an menunjukkan bahwa pertunjukan gandrung di tahun 30an tidak saja semakin
semarak tetapi juga mampu melintasi batas etnik; gandrung diapresiasi oleh
para migran Jawa, Bali, Bugis, Mandar, Arab, Cina, dan Madura, di samping
tentu orang Using sendiri. Akan tetapi, mungkin ini telah diimajinasi atau
bahkan diharapkan oleh Semi, pertunjukan gandrung semakin jelas mengarah
pada watak dan corak komersial (berorientasi ke pasar) dengan konsekuensi
kehilangan sakralitasnya, meskipun ia tetap menjadi bagian penting dari
ritual seperti bersih desa dan petik laut. Mantra-mantra penjaga pertunjukan,
pembakaran kemenyan, dan pelantunan lagu-lagu seblang yang mistis memang
masih terlihat, tetapi hal itu menjadi “tak terlihat” ketika pertunjukan gandrung
lebih didominasi paju dan lagu-lagu yang dinyanyikan pun lebih diutamakan
untuk memenuhi permintaan pemaju.
Bisa jadi, karena watak dan corak komersialnya itulah, Njoto dan rombongan Lekra
yang melawat ke Banyuwangi tahun 1960 tidak menarik gandrung bergabung
dalam Lekra sebagai bagian dari “mesin politik” pengumpul massa PKI. Mereka
lebih tertarik mengakomodasi angklung yang lebih memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai citra dasar marxisme (proletariat dan kesadaran kelas)
sebagaimana tersirat dalam lagu-lagu yang dilantunkan, seperti genjer-genjer,
rantag, cep menengo, sekolah, emas-emas (ciptaan Muhamad Arif), angklung
soren, padha nginang, dan adik ojo nangis (ciptaan Endro Wilis), Bahkan genjer-
genjer, seperti yang kita saksikan bersama, kemudian menjadi tercitrakan sebagai
representasi perjuangan komunisme Indonesia yang terlarang dan semua orang
“tabu” menyanyikannya, meski lagu yang diciptakan tahun 1942 itu sama
sekali tidak ada kaitannya dengan komunisme, dan hanya dimaksudkan untuk
melukiskan bagaimana orang Using berlebihan memandang rendah genjer
sebagai makanan enak-bergizi justru disaat paceklik yang waktu itu melanda
Banyuwangi. Gandrung sendiri kemudian memilih bergabung dengan (atau
diakomodasi oleh) LKN, lembaga kebudayaan PNI.
Gandrung berkembang berpacu dengan perubahaan-perubahan sosial yang
terjadi di tengah masyarakat dengan seluruh konsekuensinya pada teks
366