Page 377 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 377

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Tampaknya,  semua  seniman-budayawan  Banyuwangi  dan  penulis  tentang
           gandrung sepakat bahwa kesenian ini bermula dari tradisi kesenian keliling
           (semacam ngamen) yang diciptakan oleh para pejuang daerah itu yang
           kebanyakan sedang mengungsi di hutan (akibat peperangan melelahkan dan
           menelan  ribuan korban  jiwa,  sebelum dan  sesudah perang  Bayu di  abad ke
           18) yang sangat memerlukan informasi perkembangan penjajah yang tentu saja
           berkonsentrasi di kota, di samping kebutuhan-kebutuhan logistik yang harus
           diusung  dari  kampung-kampung  dan kota.  Startegi  melalui  kesenian  keliling
           dibutuhkan, selain untuk memenuhi dua keperluan tersebut, juga agar tidak
           dicurigai pihak penjajah. Oleh sebab itu, orang Banyuwangi sekarang menyebut
           kesenian yang mungkin belum bernama itu sebagai media komunikasi antar
           pejuang. Sudah pasti, kesenian yang dimaksudkan sebagai media itu sangat
           sederhana, diperkirakan (tidak ada data tentang hal itu) terdiri dari 2 pemusik
           (kendang dan terbang/rebana) dan seorang penari, tanpa kostum, dan menari-
           menyanyi seadanya; dan penarinya pun seorang laki-laki yang berperan
           perempuan (tranvestisme). Mereka keliling dari kampung ke kampung untuk
           mengumpulkan bantuan (terutama beras), di samping menelisik kabar tentang
           penjajah dan perilakunya kepada warga masyarakat yang hampir seluruhnya
           perempuan dan anak-anak. Konon, lagu podho nonton yang kini menjadi
           “keramat” itu telah pula dinyanyikan kala itu.

           Kesenian itu, belakangan disebut sebagai gandrung lanang (laki-laki), berakhir
           pada akhir abad ke-19 ketika penari terakhinya, Marsan, tanpa diketahui
           sebabnya, mulai mengurangi aktivitas keseniannya, Pada saat yang sama, tahun
           1895, muncul Semi, seorang bocah dari Desa Cungking yang melalui proses
           mistis tiba-tiba pandai menari. Diceritakan, Semi sakit parah dan tidak bisa
           disembuhkan oleh banyak dukun yang mengobatinya. Ibu Semi, Mak Midah
           berkata: “kadung sira waras, sun dadheaken seblang, kadung sing waras, yo
           sing”,  dan benar, setelah itu ternyata Semi sembuh total seperti sediakala.
           Mak Midah menyuruh Semi menghirup kemenyan di atas dupa, dan spontan
           ia melakukan gerakan-gerakan ke arah samping mirip srimpi dan legong.
           Maka, dengan kemampuannya menari itulah, Semi didaulat menjadi gandrung,
           sekaligus mengawali perubahan dari gandrung lanang ke gandrung perempuan.

                Scholte (1927; 7) menyatakan:
                “sampai tahun 1980, nama gandrung di Banyuwangi ditujukan kepada
                seorang laki-laki. Para gandrung tersebut sama dengan para sedati dari
                Aceh, para runding dari Madura, dan para gemblak dari Jawa. Gandrung
                laki-laki yang penghabisan di Banyuwangi bernama Marsan. Dia
                termasyhur sebagai penari sehingga dimana-mana diundang dan semua
                saingannya harus mengakui keunggulannya. Dialah pemegang monopoli
                seni dan menari sampai akhir hayat.










                                                                                                363
   372   373   374   375   376   377   378   379   380   381   382