Page 387 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 387

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







          potensi rasa dan keindahannya. Ayat Al-Qur’an,  “Wa mâ khalaqtu al-jinna
          wa al-insa illâ liya’budûn” (51: 56), bermakna manusia dengan segala potensi
          dan kelengkapan yang diciptakan-Nya tak lain kecuali sebuah paket untuk
          menyembah-Nya. Menyembah tidak terbatas dalam arti ritual, tetapi dalam
          makna yang luas, termasuk mengembangkan potensi rasa yang sesuai dengan
          tuntunan dan kehendak-Nya. Ekspresi rasa tanpa tuntunan agama akan
          menjadi  liar  dan melahirkan  bentuk-bentuk  kesenian yang  melanggar etika,
          menyalahi estetika dan bertentangan dengan norma-norma agama. Segala
          sesuatu yang tidak bersandar pada nilai-nilai Ilahiyah dan aturan-Nya, apalagi
          menentang-Nya, pasti tidak akan memberikan manfaat dan maslahat bahkan
          membawa petaka. Seni Islam,dengan demikian, adalah ekspresi dan wujud rasa
          keindahan manusia yang berada dalam tuntunan atau memenuhi standar norma
          Islam.  Dengan  demikian  pula,  Islam  adalah  agama  yang  tidak  memberikan
          laranganpada ekspresi rasa melainkan membimbingnya agar manifestasi rasa
          itu sesuai dengan tuntunan-Nya sehingga memberikan manfaat bagi manusia.
          Inilah konsep dasar seni Islam.

          Dalam Islam, Tuhan bukan hanya Maha Indah, tapi juga sumber keindahan.
          Karena Tuhan sendiri Maha Indah, maka Dia mencintai keindahan: “Innallâha
          jamîlun yuhibbul jamâl.” Alam semesta, tata surya dan dunia dengan segala
          isinya adalah manifestasi dari keindahan Tuhan. Al-Qur’an menyatakan         Foto tulisan/naskah  sholawat
          manusia  pun  diciptakan  dengan  keindahan:  “Shawwarakum  fa  ahsana       dalam kenduri cinta.
          shuwarakum!”     [Dialah]   yang   membentukmu                               Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
          kemudian mengindahkan rupamu (QS, 40 : 64); “La
          qad khalaqnal insâna fî ahsani taqwîm.” Sungguh
          Kami  telah  menciptakan  manusia  dengan  sebaik-
          baiknya (seindah-indahnya) rupa (QS, 95 : 4). “Wa
          fî anfusikum afalâ tubshirûn?” Dan dalam diri-diri
          kamu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?
          (QS,  51  :  21).  Banyak  ayat  tentang  perenungan
          yang ujungnya diakhiri dengan pertanyaan: “afalâ
          tubshirûn?”, “afalâ tadzakkarûn?” afalâ ta’qilûn?”
          Pertanyaan-pertanyaan itu adalah peringatan
          agar kreasi Tuhan di alam semesta ini difikirkan
          dan direnungkan untuk dirasakan keindahan-Nya
          dan diimani keberadaan-Nya. Maka, merasakan
          keindahan alam ciptaan Tuhan menjadi keharusan
          pula  sebagai paradigma  keberimanan  terhadap
          eksistensi Tuhan. Prof. H.M Rasyidi (1978) pernah
          mengingatkan,  “karena  alam  ini  adalah  ciptaan
          dari Dzat Yang Tidak Terbatas, maka keindahan
          itu ada artinya. Dengan kata lain, kalau Tuhan ada
          maka pengalaman keindahan alam adalah suatu
          hal  yang  harus  dirasakan.”  Pengalaman  estetis,







                                                                                                373
   382   383   384   385   386   387   388   389   390   391   392