Page 488 - SKI jld 3 pengantar menteri Revisi Assalam
P. 488
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3
Majalah Prisma. Prisma dalam
banyak hal telah dijadikan
referensi bagi pengambil
keputusan dan perencana
pembangunan di Indonesia,
di samping menjadi bacaan
kalangan intelektual dan pengajar
universitas.
Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
Pertama, melalui penerbitan jurnal-bulanan sosial dan ekonomi, Prisma. Jurnal
yang terbit pertama kali pada tahun 1972 ini dihadirkan LP3ES guna menjaring ide
dan gagasan masyarakat, baik dalam bentuk karangan ilmiah populer, eksplorasi
dan refleksi intelektual, maupun laporan riset yang dalam bidang kajian ilmu-ilmu
sosial dan ekonomi. Di awal tahun 1970-an, Prisma menjadi bacaan yang begitu
dikenal di kalangan masyarakat, mulai dari kalangan akademisi, baik di dalam
maupun luar negeri, mahasiswa, pejabat-pejabat di pemerintahan, tokoh-tokoh
politik maupun kelompok-kelompok strategis lainnya. Bahkan, pemikiran dan
analisis yang disajikan melalui jurnal Prisma dalam banyak hal telah dijadikan
referensi bagi pengambil keputusan dan perencana pembangunan di Indonesia,
di samping menjadi bacaan kalangan intelektual dan pengajar universitas. 26
Merujuk laporan Onghokham, yang secara khusus menganalisa sepak terjang
Prisma sejak tahun 1972 hingga tahun 1980, Prisma dipandang berhasil
memposisikan diri secara tegas di hadapan pemerintah Orde Baru yang
kala itu sedang melakukan konsolidasi di segala bidang. Bukan saja mampu
mengungkapkan masalah sosial ekonomis yang berlangsung selama Orde Baru,
Prisma merupakan pencerminan dari wajah kaum cendekiawan Indonesia.
Prisma adalah kelanjutan dari suatu proses perkembangan kaum cendekiawan
Indonesia dari waktu ke waktu.
27
Kedua, melalui jalur diskusi rutin. Akhir tahun 1970-an, LP3ES berhasil
mengumpulkan sejumlah tokoh, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman
Wahid, Taufik Abdullah, Djohan Effendi, M.Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Fachri
Ali, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Hadimulyo, Hari Zamharir, Ahmad Rifa’i
Hassan, Bahtiar Effendy, Tarjono, Badri Yatim, Enceng Sobirin, dan beberapa
mahasiswa dari IAIN Jakarta (saat ini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) untuk
28
secara rutin, setiap hari rabu, melakukan diskusi. Tema utama yang didiskusikan
kala itu berkisar pada isu pembangunan yang merupakan kebijakan utama
pemerintah Orde Baru. Ide dasarnya adalah tentang pentingnya “pemerataan”
472