Page 220 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 220

206       Gubernur Pertama di Indonesia



                   Lulus dari AMS-A, Pudja diterima di Rechtshogeschool (RHS,
            Sekolah Tinggi Hukum, sekarang  Fakultas Hukum  UI)  di Batavia.
                                                    22
            Pelajaran  di sekolah  itu luar biasa  sulit.   Dosen-dosennya adalah
            pakar hukum dan ilmu sosial ternama dari Negeri Belanda, seperti J.
            H. J. Schepper dan B. J. O. Schrieke, dan seorang guru besar bumiputra
            pertama, R. A. Hoesein Djajadiningrat, yang mengajar Hukum Islam
            dan bahasa Melayu. Mereka menetapkan standar kelulusan yang
            sangat tinggi. Sejak awal, RHS memang dimaksudkan untuk setara
            dengan universitas  di Negeri Belanda dalam hal rentang keluasan
            pengetahuan agar para mahasiswanya terdidik sebagai ahli hukum
                                              23
            yang mumpuni secara intelektual.   Selama belajar di RHS, Pudja
            tinggal di asrama mahasiswa di daerah Guntur, Menteng, dan setelah
            mencapai sarjana muda ia pindah ke  Studentenhuis  di Jalan
                                  24
            Pegangsaan Timur 17.   Kedua asrama itu cukup istimewa karena
            banyak mahasiswa berbagai suku bangsa dari kota-kota lain di
            Hindia Belanda  yang tinggal  di sana, bergaul secara leluasa,  dan
            berbincang-bincang tentang nasionalisme dan kolonialisme.  Tidak
                                                                      25
            ada catatan bahwa Pudja ikut dalam kelompok studi atau organisasi
            tertentu  tetapi hampir dapat  dipastikan  bahwa  ia  paling  tidak
            menyimak perbincangan yang terjadi di antara teman-temannya.
                   Pudja lulus dari RHS tanpa halangan berarti dalam waktu
            lima tahun.  Ia adalah orang  Bali  pertama yang  memperoleh gelar
            Meester in de Rechten. Ayah Pudja memintanya pulang ke Bali dan ia
            pun tidak keberatan. Selama kurang-lebih 12 tahun merantau, Pudja
            melihat perbedaan besar antara keadaan  sosial masyarakat di  Bali
            dan di Jawa. Ia ingin menyumbangkan apa yang dipelajarinya untuk
            membuat Bali lebih maju dan berkembang.

            BELAJAR MENATA NEGARA (1934–42)


            Bali yang ditinggalkan Pudja pada awal 1920-an sudah  banyak
            berubah ketika ia kembali pada 1934. Pemerintah kolonial berusaha
            menata  Bali dan masyarakatnya sedemikian rupa agar tercapai
            keamanan dan  ketertiban di seluruh Hindia Belanda. Bali bagi
            pemerintah jajahan merupakan pintu gerbang masuknya bermacam
   215   216   217   218   219   220   221   222   223   224   225