Page 221 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 221
I Gusti Ketut Pudja 207
gagasan baru yang mendorong sentimen anti-kolonialisme dari Jawa
ke daerah-daerah lain di sebelah timur. Setelah pemberontakan
Partai Komunis Indonesia 1927 mengguncang tatanan kolonial,
pemerintah mengawasi pergerakan kaum bumiputra dengan amat
ketat. Mereka harus memastikan bukan saja gagasan komunisme,
tetapi juga nasionalisme dan pan-Islamisme tidak menyebar ke Bali
dan pulau-pulau di bagian timur Hindia Belanda.
Ada dua cara utama yang digunakan pemerintah untuk
mengendalikan Bali. Pertama, pemerintah memulihkan kekuasaan
tradisional raja-raja di delapan wilayah swapraja (zelfbestuur) dan
memberi mereka kewenangan terbatas untuk mengatur wilayah
masing-masing, termasuk menarik pajak dan menegakkan sistem
pengadilan adat. Para raja berhak menggunakan titel dari zaman
prakolonial, seperti ‘Anak Agung’, ‘Dewa Agung’ dan ‘Cokorda’.
Pemerintah kolonial, diwakili seorang residen yang dibantu oleh
kontrolir, tetap mengawasi jalannya pemerintahan, tetapi yang
berhadapan dengan rakyat sehari-hari adalah raja dan perangkat
pemerintahan swapraja yang diikat oleh perjanjian pendek (korte
verklaring) untuk bersetia kepada Kerajaan Belanda dan tunduk
26
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Cara kedua, pemerintah memastikan Bali terisolasi dari
perkembangan pesat gerakan nasionalis di Jawa dengan membuat
Bali sebagai ‘museum’ Jawa Kuno yang belum tersentuh peradaban
agama-agama samawi, baik Islam maupun Kristen. Proyek kultural
yang sering disebut Baliseering (Balinisasi) ini berpusat pada upaya
konservasi tata busana, tata wicara, arsitektur dan kesenian
tradisional yang dijaga keajegannya oleh lembaga hukum adat Raad
van Kerta dengan kaum brahmana sebagai penentu keputusan akhir.
Pemerintah kolonial seakan ingin membatasi pengembangan
pengetahuan orang Bali tentang dunia luar dan konsep-konsep baru,
seperti kemerdekaan atau demokrasi, atas nama kepentingan
menjaga ‘keaslian’ dan ‘keunikan’ Bali, dan mengurung masyarakat
Bali dalam satu masa yang tidak boleh berubah. Penampilan Bali
sebagai ‘museum hidup’ menjadi daya tarik tersendiri bagi ilmuwan,
peneliti, seniman, dan wisatawan asing yang berbondong-bondong

