Page 227 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 227

I Gusti Ketut Pudja      213



                      Mengherankan bahwa pemerintah Belanda begitu abai
               dengan persiapan  menghadapi invasi Jepang di Indonesia. Mereka
               begitu bergantung pada Indonesia karena sudah ratusan tahun
               mencari hidup di negeri ini. Mereka tahu bahwa Indonesia adalah
               sasaran utama gerak militer Jepang karena kekayaan sumber daya
               alamnya terutama  karet dan minyak bumi. Indonesia pada saat itu
               adalah pengekspor minyak bumi terbesar keempat setelah AS, Iran,
                            36
               dan Rumania.   Di satu sisi, tampaknya  Belanda demikian percaya
               bahwa kekuatan militer  Inggris  dan AS lebih dari cukup untuk
               menghadang balatentara Jepang. Di lain sisi, sikap pemerintah
               Belanda memusuhi kalangan pergerakan pada gilirannya merugikan
               ketahanan Indonesia sebagai koloni. Saat situasi genting dan mereka
               berusaha menggalang dukungan dari rakyat Indonesia untuk “bela
               negara,”  sambutan rakyat  dingin-dingin  saja walaupun sebagian
               tokoh pergerakan menyadari bahaya fasisme yang dibawa pasukan
               Jepang. Para pemuda di Bali, misalnya, lebih memilih bergabung
               dengan PPRIM yang tidak dibayar apa-apa daripada menjadi
                                                              37
               “serdadu sewaan” untuk pasukan militer Belanda.
                      Ketika pasukan Jepang masuk dari  pantai Sanur pada 19
               Februari, opsir Belanda yang diperintahkan menjaga pelabuhan dan
               lapangan terbang segera mundur teratur ke pedalaman, tanpa
               melawan,  dan  mencari  jalan  untuk  melarikan  diri  ke  Jawa  atau
               Australia. Mereka memerintahkan pasukan milisi Prayoda untuk
               melepas seragam,  meletakkan senjata  dan perangkat perang yang
               lain, dan pulang ke  rumah masing-masing. Karena  Bali dianggap
               tidak memiliki obyek vital yang harus dilindungi, pemimpin militer
               Belanda  tidak menempatkan  pasukan khusus di pulau tersebut.
               Orang Eropa di Bali juga hanya berjumlah sekitar 100 jiwa. Satu-
               satunya  perlawanan  terakhir  dilancarkan  oleh  vernieling  brigade
               (brigade perusak) yang dengan sengaja menghancurkan pusat-pusat
               logistik dan infrastruktur militer agar tidak dapat dimanfaatkan oleh
               Jepang. Mobil, truk dan kendaraan lain milik militer  dipreteli,
               mesinnya dirusak, lalu dijerumuskan ke jurang yang dalam. Mereka
               juga membakar instalasi militer, gudang-gudang beras, dan  pompa
               bensin sehingga Denpasar dilanda lautan api.
                                                          38
   222   223   224   225   226   227   228   229   230   231   232