Page 231 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 231
I Gusti Ketut Pudja 217
dikerjakan di dewan itu sehingga mereka banyak menganggur.
Kegiatan Pudja sehari-hari adalah membaca koran Asia Raya, yang
40
tersedia di kantor, dan belajar bahasa Jepang. Tampaknya dewan
itu memang didirikan sekadar untuk memberi kesan bahwa Jepang
berniat memberi Indonesia kesempatan menyelenggarakan
pemerintahan sendiri.
Sejak pertengahan 1942 Jepang boleh dikatakan berhasil
menguasai wilayah yang teramat luas dari Samudra Hindia hingga
Pasifik Tengah, tetapi kebutuhan logistik untuk mempertahankan
wilayah taklukan itu luar biasa besar. Jepang tidak memiliki sumber
daya alam, manusia, dan basis industrial yang cukup kuat untuk
memasok kebutuhan itu. Sementara itu, blok Sekutu yang sudah
berhasil memulihkan kekuatannya kembali terus-menerus
menyerang Jepang dan semakin memojokkan posisinya hingga
akhirnya Jepang kalah pada 1945. Penguasa Jepang di Indonesia
kemudian melipatgandakan segala upaya produksi dan pengumpulan
bahan-bahan sandang-pangan dan kebutuhan industri perang. Di
Bali, dari raja hingga pegawai di tingkat desa menjadi ujung tombak
mobilisasi logistik itu dan berhadapan langsung dengan rakyat,
terutama petani, untuk memaksa mereka menyerahkan beras dan
hasil bumi lainnya dan ternak. Petani tak jarang diharuskan
menanam tanaman yang dibutuhkan tentara Jepang, seperti pohon
jarak, kapas, dan bambu secara masal, dan menghancurkan tanaman
yang sebelumnya menjadi sumber nafkah petani, seperti kopi dan
buah-buahan. Ketika beras menjadi langka, rakyat disuruh makan
singkong dan sayuran, atau kelaparan.
Kelaparan, pemiskinan, dan kesengsaraan yang ditimbulkan
kampanye perang Jepang membuat rakyat Indonesia sadar
sepenuhnya bahwa Jepang bukanlah penyelamat dan bahwa mereka
harus menentukan nasibnya sendiri setelah dilempar dari satu
penguasa asing ke penguasa asing lainnya. Perlawanan terhadap
kekuasaan Jepang sebenarnya sudah terjadi sejak akhir 1942
terutama di luar Jawa, misalnya pemberontakan petani yang
dipimpin kaum ulama di Aceh, atau perlawanan kaum Tionghoa dan
Dayak di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Semua

