Page 84 - Sufisme-Dalam-Tafsir-Nawawi-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA
P. 84
S u f i s m e D a l a m T a f s i r N a w a w i | 83
“Wajib bagi kita untuk menetapkan secara pasti bahwa adanya Allah suci
dari tempat dan arah”.
Penafsiran beliau terhadap ayat ini jelas adalah penafsiran
yang umum, sebagai keyakinan mayoritas umat Islam, terdapat
dalam kitab-kitab tafsir lainnya. Di samping itu dapat kita lihat
Basim fi Athwar Abi al Qasim, hal. 30, beliau mengatakan: “Tuhan yang maha suci
dari pada jihah (arah)”. (2) Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy
yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1321 H/sekitar
tahun 1901). Beliau berkata dalam terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa),
hal.105, sebagai berikut: “…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna”.
Artinya: “… dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”. (3)
KH.Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam
terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (W. 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947).
Beliau menyatakan dalam muqaddimah risalahnya yang berjudul al-Tanbihat al
Wajibat sebagai berikut: “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib
disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari
berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat…”. (4) KH. Muhammad
Hasan al-Genggongi al-Kraksani, Probolinggo (W. 1955), Pendiri Pondok
pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam
risalahnya Aqidah al-Tauhid, hal. 3 sebagai berikut: “Adanya Tuhanku Allah
adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan (enam) arah. Karena Allah
ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”. (5) KH.Raden Asnawi,
Kampung Bandan-Kudus (W. 26 Desember 1959). Beliau menyatakan dalam
risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, hal.18, sebagai
berikut: “…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni
sesuatu yang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak membutuhkan
tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya sifat
Qiyamuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa). (6) KH. Siradjuddin Abbas
(W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H). Beliau mengatakan dalam buku
Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan, hal. 25: “…karena Tuhan itu tidak bertempat di
akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai tempat duduk, serupa
manusia”.

