Page 90 - Sufisme-Dalam-Tafsir-Nawawi-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA
P. 90

S u f i s m e   D a l a m   T a f s i r   N a w a w i  | 89

            Tauhid Dan Tajrîd     Syekh Nawawi al-Bantani

                    Dari  pembahasan  di  atas  dapat  kita  simpulkan  bahwa
            tasawuf  yang  ditulis  atau  digeluti  Syekh  Nawawi  adalah  tasawuf
            sejati,  atau  menurut  sebagian  pendapat  disebut  dengan  tasawuf
                            145
            Sunni  Akhlaqi .  Kesimpulan  bahwa  Syekh  Nawawi  seorang

                    145   Penulis  menilai  bahwa  pembagian  tasawuf  kepada  Akhlaqi  dan
            Falsafi  adalah  salah  satu  penyebab  utama  dari  timbulnya  paham  dikotomis
            antara  fiqh  dengan  tasawuf.  Adapun  tentang  adanya  Syathahât  (kata-kata
            berlebihan, bahkan ada yang sampai kata-kata kufur) yang timbul dari sebagian
            sufi,  lebih  disebabkan  keadaan  fana’  yang  sedang  mereka  rasakan.  Dalam
            keadaan  semacam  ini  beban  syari’at  telah  hilang  dari  pundak  mereka,  karena
            akal mereka telah hilang, seperti halnya keadaan seorang yang gila. Hilangnya
            beban  syari’at  dalam  keadaan  semacam  ini,  tidak  bertentangan  dengan  fiqh,
            justeru sejalan, sesuai dengan sabda Rasulullah bahwa Qalam al-Taklif diangkat
            dari tiga orang, salah satunya dari seorang yang gila hingga ia sembuh. Adapun
            seseorang  yang  dalam  keadaan  sadar  (tidak  fana’)  berkata-kata  syathahât,  maka
            konsekwensi  hukum  syari’at  berlaku  atasnya.  Dalam  hal  ini  baik  para  Fuqaha
            maupun  Sufiyyah  telah  sepakat.  Karena  itulah  al-Junaid  al-Baghdadi,  seorang
            pemuka  sufi  di  masanya,  berkata  kepada  al-Hallaj  al-Husain  ibn  Manshur:
            “Engkau telah membuka aib dalam agama ini yang tidak dapat ditutupi kecuali
            dengan kepalamu”. Dua tahun dari perkataan al-Junaid ini al-Hallaj di hukum
            pancung.  Ahmad  ar-Rifai’i,  yang  juga  seorang  sufi  terkemuka  di  masanya,  -
            semasa  dengan  Syekh  ‘Abd  al-Qadir  al-Jailani-,  berkata  tentang  al-Hallaj:
            Seandainya  dia  (al-Hallaj)  di  atas  jalan  yang  benar  tentulah  dia  tidak  akan
            berkata  saya  Allah”.  Inilah  penilaian  al-Sarraj  dalam  al-Luma’-nya  dalam
            menyikapi  beberapa  sufi  yang  berucap  syatahat,  yang  sebelumnya  beliau
            membagi  kaum  sufi  kepada  dua:  al-Shûfiyyah  al-Mutahaqqiqah  dan  Ad’iya’  al-
            Shûfiah. al-Sarraj, Muqaddimah al-Luma’..., hal. 5
                    Dengan  demikian,  standarnya  adalah:  Apakah  saat  berkata  syathahât
            dalam  keadaan  sadar  atau  tidak?.  Dua  keadaan  ini  konsekwensi  hukumnya
            berbeda. Bukan kemudian “tasawuf falsafi” secara mutlak dinilai sebagai bagian
            dari  Islam.  Al-  Muhyiddin  Ibn  ‘Arabi,  yang  dianggap  sebagian  orang  sebagai
   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94   95