Page 30 - Cara Menjadi Pengusaha
P. 30

ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut dapat mengakibatkan kesehatan mental
                   dan fisik yang buruk, seperti mudah stres, mudah putus asa atau patah semangat.

                          Tapi dengan kita mampu memberdayakan otak kanan kita, maka kita juga akan
                   lebih  intuitif  dalam  menghadapi  setiap  masalah  yang  muncul.  Tentu  saja  hal  tersebut

                   berbeda  dengan  mereka  yang  hanya  mengandalkan  otak  kiri,  yang  cenderung  bersifat
                   analistis.  Yang  jelas,  kedua  belahan  otak  tersebut  sama  pentingnya.  Jika  kita  mampu
                   memanfaatkan kedua otak ini, maka kita akan cenderung “seimbang” dalam setiap aspek

                   kehidupan, termasuk urusan bisnis.
                          Bagaimana  kalau  kenyataannya  dalam  bisnis  kita  sehari-hari,  kerap  kali  masih
                   diharuskan  untuk  memutuskan,  memilih,  dan  mengambil  keputusan,  dari  beberapa

                   alternatif  yang  faktor-faktornya  tidak  diketahui?  Tentu  saja,  jika  proses  berpikir  kita
                   masih  dominan  ke  otak  kiri  cenderung  bersifat  logis,  linier,  dan  rasional,  tentu  kita
                   menyodorkan berpuluh-puluh pilihan.

                          Sebaliknya jika proses berpikir kita dominan ke otak kanan yang cenderung acak,
                   tidak teratur, dan intuitif, saya yakin kita dengan antusias yang kuat akan memilih satu

                   pilihan dan berhasil. Maka, tak ada salahnya jika kita mau memberdayakan otak kanan.

                   Pengusaha “Climber”

                          Jika  bisnis  kita  ingin  tetap  eksis,  maka  tak  ada  salahnya  kalau  kita  menjadi
                   pengusaha “Climber”

                          Sungguh saya sempat tertegun, ketika membaca pidato pengukuhan  Prof Dr. dr.
                   Hari  K.  Lasmono,  MS,  Guru  Besar  Ilmu  psikologi  Fakultas  Psikologi  Universitas
                   Surabaya beberapa waktu lalu. Ia mengungkapkan, bahwa untuk kita bisa sukses dalam

                   bisnis maupun karir, tak cukup hanya mengandalkan IQ (Intelligence Quotient) dan EQ
                   (Emotional Quotient). Tapi juga AQ (Adversity Quotient).
                          Mengapa AQ penting? Menurut pakar SDM, Paul G. Stoltz, phD, AQ merupakan

                   perpaduan antara IQ dan EQ. Jadi AQ bisa saja kita artikan sebagai kehandalan mental.
                   Sementara, Daniel Goleman pernah mengatakan, banyak pengusaha ber-IQ tinggi, namun
                   usahanya cepat jatuh. Sedang, yang ber-IQ biasa-biasa saja justru berkembang. Lantas, ia

                   mengenalkan  kecerdasan  Emosi  (EQ).  Dimana  EQ  merefleksikan  kemampuan  kita
                   berempati  pada  orang  lain,  mengontrol  kemauan  hati,  dan  kesadaran  diri.  Sehingga

                   Goleman yakin EQ lebih penting dari IQ.
                          Tapi kenyataannya, seperti IQ, tak semua orang mengambil keuntungan dari EQ.
                   Karena,  kurangnya  ukuran  valid  dan  metode  definitif  untuk mempelajarinya,  membuat
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35