Page 105 - Menabung_Ebook
P. 105

Digambarkan oleh  Gertz  bahwa bahaya kelaparan yang parah telah
                           melanda  daerah  Jawa  Tengah  pada  tahun  1849―1850.  Di  Karesidenan
                           Semarang, jumlah penduduk berkurang hingga mencapai angka 9%. Hal ini
                           terjadi karena terjadinya tindak kesewenang-wenangan pemerintah Hindia
                           Belanda  ditambah  dengan  kecurangan  yang justru dilakukan  oleh  pejabat
                           dari kalangan bumiputra. Demikian pula dengan pemaksaan kepada petani,
                           mereka wajib menanam tanaman ekspor, seperti kopi, tembakau, tebu, dan
                           nila tetapi dibeli dengan harga murah.
                              Ketimpangan  antara  kehidupan  kaum  bumiputra  dan  kaum  penjajah
                           bersama kaki-tangannya tidak terelakkan. Kenyataan ini telah mengundang                Menabung Membangun Bangsa
                           perlawanan dari rakyat dan mengundang kritikan dari berbagi pihak. Kaum
                           humanis  maupun  praktisi  faham  liberal  menyusun  serangan-serangan
                           strategis terhadap pihak  pemerintah Hindia  Belanda  yang telah memaksa
                           rakyat menanam tanaman  yang dikehendaki  dengan  harga yang sangat
                           murah bahkan tidak jarang terjadi perampasan.

                              Nama-nama  seperti  Eduard  Douwes  Dekker  atau  Multatuli,  E.S.W.
                           Roorda van Eisinga, Baron van Hoevell, dan seorang anggota Dewan Rakyat
                           (Raad  van  Indie),  C.  Th.  Van  Devente  tampil  kritis  membela  kaun  petani
                           bumiputra. Pada akhirnya pemerintah memahami akibat buruk terjadinya
                           berbagai penyimpangan dalam penerapan  sistem  tanam paksa,  terutama
                           setelah terjadi banyak peristiwa kelaparan di beberapa daerah yang banyak
                           membawa korban kematian dan penderitaan penduduk. Mulai tahun 1860,
                           sebagian besar tanam paksa dihapuskan dan mulai tahun 1901 Culturstelsel
                           diakhiri.

                                Berkat  pembelaan  dari  C.  Th.  Van  Deventer  terhadap  nasib  kaum
                           bumiputra yang menderita akibat Sistem  Tanam Paksa kemudian  lahir
                           kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan Politik Etis (Etise
                           Politic). Kebijakan baru ini  diarahkan pada perbaikan irigasi (pengairan)
                           untuk keperluan pertanian, mengajak penduduk untuk bertransmigrasi, dan
                           memperluas kesempatan kaum bumiputra untuk mendapatkan pendidikan
                           dan pengajaran. Kebijakan sebagai bentuk balas budi atau lebih tepat sebagai
                           “penebus  dosa”  atas kekeliruan  program sistem  tanam paksa itu, dalam               95
                           kenyataan, juga tetap membuat masyarakat bumiputra tetap menderita.
                           Kebijakan penataan di bidang kependudukan dengan melaksanakan program
                           transmigrasi untuk mendukung bidang pertanian dan perkebunan ternyata
                           hanya menghasilkan pekerja-pekerja rodi. Bagi rakyat politik etis tidak jauh
                           berbeda  dengan  sistem  tanam  paksa.  Hanya  pendekatan  etis  di  bidang
                           pendidikan dan pengajaran yang kemudian  melahirkan kaum terpelajar
                           bumiputra yang menumbuhkan dan membangkitkan kesadaran berbangsa.
   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110