Page 273 - Final Sejarah Islam Asia Tenggara Masa Klasik
P. 273
Kembali kelihatan bahwa negara kesatuan antara rakyat dan raja. Lebih juga harus mempertanggungjawabkan antara lain juga “menyelesaikan” segala
atau kerajaan adalah refleksi dari dari pada itu “daulat”, yang dilandaskan perbuatannya kepada rakyatnya, kemungkinan terjadinya “apa yang
kepribadian sang raja. pada keadilan ini adalah langkah bagi ataupun kepada tradisi normatif yang dipercaya” dengan “apa yang terjadi”.
mendekatkan raja, sang makhluk, telah dipupuk. Pertanggung-jawaban Tetapi mitos inilah yang menjadi bagian
Bertolak dari pemikiran sufistik yang kepada Allah—ia menjadi “wali Allah ini adalah pula alat ideologis untuk dari kesadaran kultural. Mitos pula yang
sama, tetapi memakai bentuk wacana sempurna wasil”. menjamin kelangsungan dinasti dan membentuk dan sekaligus mendapat
yang diwarnai oleh suasana kultur lokal, untuk memperbesar kekuasaannya. pengesahan dalam sistem pengetahuan
Serat Centhini, karya eksiklopedis abad Keutuhan kosmis ini adalah tujuan Barangkali dalam hal ini Berg benar yang berlaku dalam komunitas kognitif.
134
XVIII Jawa, melukiskan dunia yang ril normatif yang ingin dicapai. Apakah juga, bahwa salah satu fungsi dari
ini tidak ubahnya dengan permainan terpantul dalam syair pujaan atau pun karya-karya para pujangga ialah untuk Begitulah, baik Sejarah Melayu, Babad
wayang yang dimainkan oleh ki dalang. nasehat, keutuhan kosmis merupakan memperbesar kekuatan magis sang raja. Tanah Jawi atau pun tarsila dari tradisi
Dan “dalang yang sesungguhnya ia raja landasan “ideologis” umum dari raja- Sulu dan Mangindanao menghadapkan
sendiri. Ialah wakil nabi. Nabi adalah raja Islam di Asia Tenggara. Bukan saja Sistem birokrasi yang belum diri pada usaha menjawab landasan
wakil Tuhan yang Maha Kuasa. Nabi mereka selalu digambarkan dengan lancar memang secara praktis legitimasi berdirinya dinasti yang
dan raja adalah perwujudan Allah”. 133 idiom-idiom sufistik, tak jarang mereka lebih memerlukan alat integratif berkuasa. Sebab dalam konteks inilah
juga terlibat dalam suasana sufistik yang bercorak lain. Dalam usaha kehadiran dan kekuasaan sang raja
Dalam usahanya menerangkan tentang ini—apapun gaya dan sifat monistik pertanggungjawabkan kekuasaan ini bisa diterima. Maka Senapati, pendiri
ciri-ciri perbuatan adil, Tajus-Salatin yang mereka pahami. Tidaklah terlalu maka kitab seperti Tajus-Salatin bisa dinasti Mataram digambarkan sebagai
mengatakan bahwa hal ini sebenarnya berlebihan kalau dikatakan bahwa, berperan sebagai referensi tentang pewaris kerajaan yang sah, sebab ia
subjektif. Apa yang dirasakan baik terlepas daripada perbedaan yang bagaimana yang “ideal” itu semestinya. bukan saja keturunan Brawijaya (raja
oleh raja seandainya suatu tindakan terdapat di dalamnya, sebagian besar Tetapi yang ideal itu bagaimanapun juga Majapahit terakhir) tetapi juga Sunan
atau hukum dikenakan padanya, dari karya yang dihasilkan oleh berhadapan dengan kenyataan yang ril. Giri yang pertama (salah seorang Wali
tentu akan baik juga dirasakan rakyat. para pujangga kraton atau penulis Dialog antara keharusan ideal dengan Sanga) Jika ini belum cukup Babad Tanah
Sebaliknya apa yang akan dirasakan istana hanyalah mungkin dipahami kenyataan historis tak bisa dihindarkan. Jawi pun menyatakan bahwa ia adalah
jelek bagi dirinya, tentu akan jelek juga dengan pendekatan sufistik, bukan Maka makna normatif pun diberikan penerima wahyu cakraningrat dan suami
dirasakan rakyat. Jadi patokan yang dari kacamata fikh atau hukum. terhadap pengalaman sejarah. Pemberian Nyai Loro Kidul. Sejarah Melayu, yang
135
sederhana ialah kesamaan perasaan. Tetapi, sebelum hal ini dilanjutkan, makna normatif terhadap sejarah inilah ditulis untuk keperluan istana Johor,
Inilah awal dari keadilan dan ini sebagaimana telah dikatakan di yang merupakan unsur dalam proses pewaris Kesultanan Malaka, melukiskan
pulalah sesungguhnya dasar utama atas, raja tidaklah sebuah konsep mitologisasi—suatu proses yang kadang- awal Malaka dari Palembang, tempat
dari “daulat”. “Daulat”, kalau begitu, yang abstrak. Raja adalah kenyataan kadang menjadikan “sejarah” (sebagai mendaratnya putra Iskandar Zulkarnain.
tidaklah sekadar landasan legitimasi empiris. Kalau begitu maka seorang pengetahuan empiris atas peristiwa Jadi Johor adalah persambungan
kekuasaan tetapi sesungguhnya adalah raja harus mempertanggungjawabkan yang terjadi di masa lalu) terlempar ke yang tanpa putus dari matarantai ini.
pula pantulan dari adanya persamaan landasan legitimasinya, atau belakang. Sejarah telah jadi mitos yang Dan, lebih lagi Malaka pun telah pula
perasaan itu. “Daulat” berakar pada keabsyahannya sebagai penguasa. Ia memberikan suasana yang akrab dengan memainkan peranan penting sebagai
260 Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik 261

