Page 203 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 203
berpendirian bahwa kabinet yang paling baik adalah koalisi antara PNI,
Masyumi, dan NU, karena ketiga partai tersebut bersama-sama
menguasai 159 suara dari 272 suara di DPR. Akan tetapi untuk
memperkuat kedudukan pemerintah di Parlemen, diikutsertakan juga
partai-partai kecil yaitu PSII, Perti, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI.
Partai-partai tersebut bersama-sama mempunyai 30 kursi di DPR.
Dengan demikian kabinet dapat dukungan 189 suara dalam DPR.
Kabinet yang tidak mengikutsertakan PKI ternyata
mengecewakan presiden. Presiden menghendaki ikut duduknya PKI
dalam kabinet sebagai salah satu partai “empat besar”. Akan tetapi
presiden akhirnya menyetujuai susunan kabinet. Kabinet baru tersebut
mendapat tentangan dari PSI dan PKI karena kedua partai tersebut tidak
diikutsertakan.
Program kabinet koalisi nasionlais – Islam yang dipimpin oleh
PM Ali Sastoamijoyo ini cukup luas. Program kabinet diantaranya
menyelesaikan pembatalan seluruh Perjanjian KMB secara unilateral dan
meneruskan perjuangan Irian Jaya. Program dalam negeri memulihkan
keamanan, menyempurnakan koordinasi alat-alat negara terutama
dalam tindakan pemulihan keamanan. Pada tanggal 9 April 1956
pemerintah memberikan keterangan kepada DPR tentang programnya
yang dinamakan “Program Pembangunan Nasional”. (Wilopo, 1966:
47). Kabinet baru ini mendapat kepercayaan penuh dari Presiden
Sukarno.
Setelah DPR memberi kesempatan kepada Kabinet Ali II,
pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang Pembatakan
Perjanjian KMB. Tanpa kesulitan rancangan tersebut disetujui oleh DPR
dan pada tanggal 3 Mei 1956 ditandatangani oleh presiden.
Keberhasilan tersebut kemudian disusul oleh keberhasilan-keberhasilan
lainnya antara lain pembentukan Propinsi Irian Jaya, Propinsi Aceh, dan
Undang-undang “Rencana Pembangunan Lima Tahun, 1956-1960”.
Akan tetapi keberhasilan-keberhasilan tersebut segera terdesak
ke belakang oleh peristiwa-peristiwa yang menggoncangkan
masyarakat. Kegoncangan itu adalah adanya gerakan anti pedagang
Cina.
Kesulitan lain yang dihadapi pemerintah adalah masalah
penyelundupan. Golongan anti pemerintah mengatakan bahwa
penyelundupan itu terjadi karena ketidakmampuan pemerintah untuk
mengakhiri politik “menganaktirikan” daerah-daerah. Pada waktu itu
politik ekonomi keuangan pemerintah terlalu dipusatkan di Jakarta. Hal
191