Page 199 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 199

Selain soal kedaerahan, timbul persoalan dalam Angkatan Darat
                yang  terkenal  dengan  nama  Peristiwa  17  Oktober  1952.  Peristiwa  itu
                dimulai  dengan  perdebatan  sengit  di  DPR  selama  berbulan-bulan
                mengenai  masalah  pro  dan  kontra  kebijakan  Menteri  Pertahanan  dan
                pimpinan  Angkatan  Darat.  Perkembangan  di  DPR  kian  meningkat
                dengan  diajukannya  mosi  tidak  percaya  terhadap  Menteri  Pertahanan
                dan  menuntut  diadakannya  reorganisasi  Kementerian  Pertahanan  dan
                Angkatan  Perang.  Aksi  pihak  politisi  itu  akhirnya  menimbulkan  reaksi
                keras  dari  pihak  Angkatan  Darat.  Akhirnya  meletuslah  suasana  yang
                panas dan tegang itu yaitu adanya demonstrasi di muka Istana Negara.
                Kejadian  tersebut  kemudian  terkenal  sebagai  “Peristiwa  17  Oktober
                1952”.
                        Masyumi dalam pernyataannya pada akhir bulan Oktober 1952
                menolak  pembubaran  DPR  dengan  jalan  yang  inkonstitusional  dan
                menghendaki supaya DPR bersidang. Dalam perkembangan selanjutnya
                hubungan  antara  PNI  dan  Masyumi  menjadi  renggang  lagi.  Akibat
                peristiwa itu kedudukan kabinet menjadi goyah.
                        Kedudukan  kabinet  semakin  goyah  karena  masalah  tanah  di
                Sumtra  Timur  yang  terkenal  dengan  “Peristiwa  Tanjung  Morawa”.
                Peristiwa itu terjadi karena pemerintah, sesuai dengan Persetjuan KMB,
                mengizinkan  pengusaha  asing  kembali  mengusahakan  tanah-tanah
                perkebunan.  Pemerintah  mengembalikan  tanah  Deli  Planters
                Vereeniging  (DPV)  kepada  pengusaha  asing.  Tanah  tersebut  sudah
                ditinggalkan  bertahun-tahun  dan  digarap  oleh  petani  Sumatra  Utara
                (Cina  dan Indonesia). Petani penggarap  yang dihasut oleh kader-kader
                PKI menolak untuk meninggalkan tanah garapan mereka. Pada tanggal
                16  Maret  1953  Gubernur  Sumatra  Utara  A.  Hakim  (Masyumi)
                memerintahkan  satuan  polisi  mentraktor  tanah  tersebut.  Para
                penggarap melawan  yang mengakibatkan jatuhnya korban, lima orang
                meninggal  (4  Cina  dan  1  Indonesia)  dan  beberapa  orang  ditangkap.
                Peristiwa tersebut mendapat sorotan tajan baik dari pers maupun DPR.
                Sidik Kertapati dari Sarekat Tani Indonesia (Sakti) mengajukan mosi tidak
                percaya  terhadap  Menteri  Dalam  Negeri  (Masyumi).  Dalam  mosi  itu
                disampaikan    tuntutan   agar   pemerintah    menghentikan    usaha
                pengosongan tanah tersebut dan semua tahanan dibebaskan. Sebagian
                anggota  DPP  PNI  mendesak  agar  gubernur  meletakkan  jabatan.
                Akibatnya  pada  tanggal  2  Juni  1953  Wilopo    mengembalikan
                mandatnya kepada presiden.





                                                                                 187
   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204