Page 197 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 197

Setelah  Kabinet  Natsir  jatuh,  PNI  diberi  kesempatan  untuk
                membentuk  cabinet.  Presiden  menunjuk  Mr.  Sartono  (PNI)  sebagai
                formatur  untuk  membentuk  kabinet.  Dalam  usahanya  membentuk
                kabinet  yang  berintikan  PNI  dan  Masyumi  (dua  partai  terkuat  di  DPR)
                Sartono  menemui  kegagalan  karena  adanya  sikap  yang  berlawanan
                mengenai  masalah  perpajakan,  penyelesaian  masalah  Irian  Jaya,  dan
                sistim  pemilihan  anggota-anggota  DPRD.  Pada  tanggal  18  April  1951
                Sartono mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno.
                       Pada hari itu juga presiden menunjuk dua orang formatur yaitu
                Sidik Djojosukarto (Joyosukarto) dari PNI dan dr. Sukiman Wirjosandjojo
                (Wiryosanjoyo) dari Masyumi untuk membentuk kabinet koalisi. Mereka
                pun  mengalami  kesulitan.  Setelah  melalui  kompromi  dan  tawar-
                menawar tentang program dan personalianya, akhirnya kabinet koalisi
                PNI  dan  Masyumi  berhasil  dibentuk.  Dr.  Sukiman  sebagai  perdana
                menteri dan Suwirjo (Suwiryo) dari PNI sebagai Wakil Perdana Menteri.
                Kabinet selain didukung oleh Masyumi dan PNI juga didukung oleh PIR,
                Partai Katholik, Parkindo, Parindra, Partai Buruh, Fraksi Demokrat, dan
                dua orang tidak berpartai.
                       Setelah kabinet bekerja, tampak bahwa setiap partai yang duduk
                dalam kabinet berusaha merealisasikan program politik mereka masing-
                masing. Hal tersebut menjadi benih-benih keretakan yang melemahkan
                kabinet.  Misalnya,  Menteri  Dalam  Negeri  Mr.  Iskak  (dari  PNI)  segera
                mengeluarkan  instruksi  untuk  menonaktifkan  DPRD-DPRD  yang
                terbentuk  atas  dasar  PP  No.  39  tahun  1950.  Tindakan  tersebut
                menimbulkan tetangan dari Masyumi. Contoh lain, Menteri Kehakiman
                Muhammad  Yamin  yang  tanpa  persetujuan  dari  Perdana  Menteri  dan
                anggota-anggota  kabinet  lainnya  membebaskan  950  orang  tahanan
                SOB.  Ia  kemudian  meletakkan  jabatan  setelah  kebijakannya  ditentang
                oleh Perdana Menteri dan golongan militer.
                       Masalah  lain  yang  menggoyahkan  kabinet,  adalah  tindakan
                Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo (Subarjo) yang bersedia menerima
                bantuan Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat Mutual Security Act
                (MSA).  Tindakan  tersebut  dianggap  sebagai  langkah  kebijakan  politik
                luar  negeri  yang  dapat  memasukkan  Indonesia  ke  dalam  lingkungan
                strategi  Amerika  Serikat,  sehingga  menyimpang  dari  asas  politik  luar
                negeri  bebas  aktif.  Masyumi  menetang,  bahkan  Mohammad  Natsir
                sebagai pimpinan partai menyatakan tidak bertanggung jawab atas hal
                tersebut.





                                                                                 185
   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202