Page 211 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 211
Undang-Undang Dasarnya sendiri. Sedangkan “proklamasi” itu sendiri
dianggap sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan tertanggal
11 Maret 1947. Menurut hasil pemeriksaan terhadap gembong-
gembong RMS tahun 1955 di Yogyakarta, teks “proklamasi” itu sisusun
oleh D.Z. Pesuarissa yang pada waktu itu sebagai “menteri
penerangan”, yang tentunya dibantu Dr. Soumokil dan Ir. Manusama
(Leirissa, 1975: 185-186)
Kementerian Pertahanan RIS mempunyai kebijakan untuk
mengatasi pemberontakan ini. Usaha-usaha yang akan dilakukan adalah
pertama, berunding. Jika usaha ini tidak berhasil, mengadakan blokade
atas Pulau Ambon, tempat konsentrasi KNIL. Blokade ini dimaksudkan
untuk memaksakan perundingan. Jika usaha ini juga tidak berhasil,
maka akan di jalankan rencana ketiga yaitu pendaratan APRIS (Leirissa,
1975: 176)
Usaha Kementerian Pertahanan untuk mengadakan
perundingan, segera dilaksanakan. Mula-mula mereka menghubungi
Kuasa Usaha Belanda di Jakarta. Dalam perundingan tersebut dicapai
kesepakatan untuk mengungsikan semua orang (dengan sendirinya
yang dimaksud adalah terutama anggota-anggota KNIL bersama
keluarganya) yang masih berada di bawah tanggungjawab Belanda ke
luar Ambon. Untuk keperluan ini pihak Belanda mengirimkan van
Hoogstraten untuk berunding dengan pimpinan KNIL di Ambon.
Mereka menginginkan agar pihak Belanda mengakui RMS dan
mengirimkan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia ke Ambon.
Hal ini tidak mungkin karena akan merusakkan hubungan Belanda
dengan RIS yang baru dijalin. Usaha pertama telah gagal, maka usaha
kedua dijalankan. Blokade dimulai pada tanggal 16 Mei 1950.
Selain usaha-usaha oleh pemerintah yang dijalankan oleh
Kementerian Pertahanan, juga masyarakat Maluku yang berada di luar
Maluku berusaha menanggapi pemberontakan tersebut. Sejak 26 April
para pemuda Maluku di Makassar telah bergerak. Mula-mula organisasi
Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku (KRIM) memecat Soumokil sebagai
anggota. Kemudian pada tanggal 1 Mei 1950 organisasi-organisasi
pemuda mengadakan rapat. Rapat dihadiri wakil-wakil dari KRIM, Ikatan
Pemuda Indonesia Maluku, Pemuda Pattimura, dan Wanita Maluku.
Mereka menyatakan menolak “Proklamasi RMS” dan membentuk Front
Penentang Proklamasi Republik Maluku Selatan (FPPRMS). Organisasi
tersebut kemudian mengorganisasikan kesatuan-kesatuan para-militer
yang dilatih oleh unsur-unsur Pattimura di Makasar. Maksud mereka
199