Page 215 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 215

Barat dianggap sebagai tentara liar. Kontak senjata pertama dengan TNI
                terjadi tanggal 25 Januari 1949 ketika pasukan Divisi Siliwangi di bawah
                pimpinan Mayor Utarjo memasuki daerah Priangan Timur. Mayor Utarjo
                dibunuh oleh anggota DI. (Sujono, 208: 361).
                        Pemerintah  RIS  berusaha  menyelesaikan  pemberontakan
                Kartosuwiryo  dengan  jalan  damai.  Sebuah  panitia  yang  terdiri  dari
                Zainul Arifin (Kementerian Agama), Makmun Sumadipraja (Kementerian
                Dalam Negeri), dan Kolonel Sadikin (Kementerian Pertahanan) ditugasi
                mengadakan  kontak  dengan  Kartosuwiryo.  Usaha  ini  gagal,  demikian
                juga  usaha  Wali  Alfatah  pada  masa  Kabinet  Natsir.  Krtosuwiryo  hanya
                bersedia berunding apabila pemerintah mengakui eksistensi NII (Sujono,
                2008: 361).
                        Setelah  usaha  secara  damai  gagal,  TNI  melancarkan  operasi
                militer yaitu Operasi Merdeka. Operasi ini masih bersifat insidentil, lokal,
                tanpa rencana yang tegas dan sistematis. Serangan-serangan DI/TII yang
                bersifat gerilya itu belum dihadapi dengan taktik anti gerilya. Baru tahun
                1957  TNI  menyusun  rencana  operasi  yang  dikenal  sebagai  “Rencana
                Pokok  21”.  Intinya  adalah  menahan  DI/TII  di  daerah-daerah  tertentu
                untuk  selanjutnya  dihancurkan.  Opreasi  penghancuran  dimulai  dari
                daerah Banten, selanjutnya ke timur. Tahun 1961 penduduk Jawa Barat
                diikutsertakan  dalam  operasi  dan  dibentuklah  secara  besar-besaran
                “pagar  betis”.  Dalam  gerakan  “pagar  betis”  yang  kadang-kadang
                berlangsung  berhari-hari,  penduduk  sipil  membentuk  garis  maju
                berangsur-angsur  dengan  satuan-satuan  kecil-kecil  tiga  sampai  empat
                prajurit pada jarak-jarak tertentu (Dijk, 1987:  113).
                        Kartosuwiryo membalas tekanan TNI ini dengan memerintahkan
                perang semesta terhadap musuh-musuhnya pada awal tahun 1961. Di
                desa-desa  yang  aktif  atau  pasif  menyokong  republik  tidak  boleh  ada
                orang dibiarkan hidup, menurut “Perintah Perang Semesta”-nya.
                        Untuk mengakhiri operasi anti DI di Jawa Barat selama-lamanya,
                mulai bulan April 1962 aksi-aksi TNI ditingkatkan. Dalam “Operasi Brata
                Yudha”,  Brawijaya  dan  Diponegoro  turut  ambil  bagian.  Kartosuwiryo
                tertangkap  bersama  istrinya  dan  komandan  pengawal  pribadinya,
                Aceng  Kurnia,  di  sebuah  tempat  persembunyian  di  puncak  Gunung
                Geber, dekat Cipaku, di Cicalengka Selatan tanggal 4 Juni 1962. Ketika
                ditangkap Kartosuwiryo dalam keadaan sakit  berat.
                        Sesudah  Kartosuwiryo  ditangkap,  salah  seorang  putranya  yang
                menjadi  sekretarisnya  mengeluarkan  instruksi  atas  nama  imam  agar
                semua anggota DI yang masih berjuang, menyerah. Sebagian besar



                                                                                 203
   210   211   212   213   214   215   216   217   218   219   220