Page 219 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 219
terhitung mulai tanggal 29 Agustus 1951 kepada anggota CTN agar
melaporkan diri.
Di samping melancarkan operasi militer, Kolonel Gatot Subroto
(pengganti Kolonel Kawilarang sebagai Panglima Teritorium VII juga
mengadakan kebijakan yang bersifat psikologis - politis. Terhadap para
pemberontak yang ingin kembali ke masyarakat tidak akan diadakan
penahanan dan tuntutan apa pun. Sejalan dengan kebijakan itu,
diusahakan pula mengadakan pertemuan dengan Kahar Muzakar,
namun Kahar Muzakar menolak. Sementara itu ia mengadakan
hubungan dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Pada tanggal 7 Agustus
1953 ia menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Darul
Islam pimpinan Kartosuwiryo dan pasukannya menjadi Tentara Islam
Indonesia (TII) (Sujono, 2008: 367).
Operasi Merdeka kemudian dilanjutkan dengan Operasi
Halilintar. Namun operasi itu belum memperlihatkan hasil yang
memuaskan bahkan tahun 1954 pengaruh DI hampir meliputi seluruh
wilayah Sulawesi Selatan. Kahar Muzakar memusatkan kekuatannya di
daerah Luwu. Untuk menghancurkan pusat kekuatan Kahar Muzakar,
TNI melancarkan Operasi Wirabuana. Sebaliknya Kahar Muzakar
meningkatkan kekuatannya dengan membentuk pasukan tempur
Moment Mobiele Comando (Momoc).
Operasi Halilintar kemudian dilanjutkan dengan Operasi Musafir.
Sasaran utamanya menghancurkan kekuatan Kahar Muzakar di Awo
Kompleks (Palopo Selatan). Dalam operasi ini diikutsertakan pasukan
Usman Balo yang sudah memisahkan diri dari Kahar Muzakar. Kekuatan
Kahar Muzakar mulai berkurang. Untuk mendapat dukungan dari
penduduk, ia mengembangkan sentimen kedaerahan dengan
membentuk pasukan yang disebut Barisan Anti Jawa Komunis (Bajak).
Kekuatan Kahar Muzakar bertambah setelah mengadakan kerjasama
dengan pasukan Permesta pimpinan Letnan Kolonel Gerungan. Selain
bantuan senjata, Kahar Muzakar juga mendapat bantuan personil
sebanyak 200 orang anggota Permesta.
Operasi-operasi militer yang dilancarkan TNI diikuti dengan
himbauan agar pemberontak menghentikan perlawanannya. Berkat
himbauan itu beberapa tokoh DI menyerahkan diri antara lain Bahar
Mataliu, tokoh kedua DI Sulawesi Selatan pada tanggal 12 September
1962. Hal itu memperlihatkan bahwa di kalangan pengikut Kahar
Muzakar mulai timbul perpecahan (Gonggong, 1992: 190).
207