Page 221 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 221
“Sang Penguasa” yaitu dari Kerajaan Islam. Pasukannya diberi nama
“Angkatan Perang Tentara Islam” (APTI). Kadang-kadang disebut juga
“Pasukan Islam” tanpa dibubuhi KRIyT. Kepala Pasukan Islam (Kapai)
adalah Paduka Yang Mulia Ibnu Hajar. Untuk menggarisbawahi
perpecahannya dengan republik, Ibnu Hajar menggubah versi lain dari
lagu kebangsaan , disesuaikan dengan cita-cita Islam pemberontah.
(Dijk, 1987: 248).
Pemberontakan ini relatif kecil, tidak pernah menguasai daerah
yang luas. Setelah pasukan Ibnu Hajar masuk gerakan DI, pasukan terus
beroperasi dalam kelompok-kelompok yang sangat kecil paling banyak
20 orang. Namanya DI KRIyT atau DI APTI (Angkatan Perang Tentara
Islam). Pada tahun 1954 terdapat struktur pimpinan yang lebih tegas
pembatasannya. Maka diangkat komandan-komandan daerah yang
merangkap sebagai kepala Pemerintahan Daerah pemberontah dan
masing-masing mempunyai daerah operasi khusus (Dik, 1987: 250).
Sesudah pernyataan Kahar Muzakar bahwa daerah Sulawesi
merupakan bagian dari wilayah NII, di Hulusungai ditemukan pamphlet-
pamflet yang menyatakan bahwa daerah-daerah yang dikuasai oleh
KRIyT termasuk ke dalam wilayah DI (Dijk, 1987: 247).
Pada awal bulan September 1964 ia ditangkap. Bulan Maret
1965 ia diadili oleh pengadilan militer khusus dan dijatuhi hukuman
mati. Ketika disidang ia mengenakan pakaian seragam tentara dengan
tanda pangkat Letnan Dua (Dijk, 1987: 254).
(5) DI/TII di Aceh
Pada masa Kabinet Hatta II, bekas Ketua Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) Syafruddin Prawiranegara, diangkat sebagai
sebagai Wakil Perdana Menteri ditempatkan di Aceh. Tanpa
berkonsultasi lebih dahulu dengan kabinet, ia menjadikan daerah Aceh
sebagai provinsi terlepas dari Provinsi Sumatra Utara. Teungku
Muhammad Daud Beureueh yang pada masa revolusi memegang
jabatan sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, pada
tanggal 30 Januari 1950 dilantik sebagai gubernur (Syamsuddin, 1990:
35-36).
Pada awal tahun 1951, setelah terbentuk kembali NKRI, daerah
Aceh dikembalikan menjadi keresidenan dalam lingkungan Provinsi
Sumatra Utara. Penurunan status dari provinsi menjadi keresidenan
sangat mengecewakan Daud Beureueh dan para pendukungnya
terutama anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang didirikan
209