Page 225 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 225

gedung.  Demonstran  kemudian  bergerak  menuju  ke  depan  Istana
                Merdeka. Mereka membawa spanduk sambil berteriak-teriak menuntut
                pembubaran parlemen. Di belakang demonstran telah berderet meriam
                dihadapkan  ke  istana  dari  pasukan  infantri  Resimen  7.  Mereka
                mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan DPR dan menggantinya
                dengan  DPR  baru.  Di  depan  para  demonstran  Presiden  menyatakan
                menolak  membubarkan  DPR  karena  ia  bukan  diktator.  Dikatakan  pula
                bahwa  para  demonstran  hanyalah  sebagian  rakyat  Jakarta,  tidak
                mewakili  seluruh  rakyat  Indonesia.  Penolakan  yang  sama  juga
                disampaikan  oleh  Presiden  di  depan  KSAD,  Wakil  KSAD,  dan  para
                Panglima  Teritorium  serta  KSAP  yang  datang  ke  istana  pada  hari    itu
                juga.  Untuk  menghadapi  kemungkinan  terjadinya  demonstrasi,  telah
                diadakan  penjagaan  pada  posisi  yang  strategis  seperti  di  Lapangan
                Banteng  dan  Lapangan  Merdeka.  Aksi-aksi  tersebut  diikuti  oleh
                penangkapan  enam  orang  anggota  DPR  dan  pembredelan  beberapa
                surat kabar (Wilopo, 1976: 30)..
                        Penyelesaian yang dapat memuaskan kedua pihak tidak tercapai.
                Selama  beberapa  waktu  terdapat  suasana  saling  menentang  antara
                yang pro dan yang kontra gerakan 17 Oktober 1952. Kebijakan Perdana
                Menteri  terhadap  persoalan  tersebut  kurang  mendapat  persetujuan
                partainya.  Dalam  kongresnya  di  Surabaya  pada  bulan  Desember  1952
                PNI  menyatakan  bahwa  peristiwa  17  Oktober  itu  merupakan
                pemerkosaan demokrasi dan menuntut agar pemerintah menyelesaikan
                masalah itu secepatnya. Penyelesaiannya harus mendapat persetujuan
                dari presiden dalam kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi (Wilopo,
                1976: 31).
                        Akibat  peristiwa  tersebut  Angkatan  Darat  mengalami
                perpecahan  yang  memerlukan  waktu  beberapa  tahun  untuk
                mengatasinya.  KSAP  Jenderal  Mayor  T.B.  Simatupang  diberhentikan,
                dan  jabatan  KSAP  dihapuskan,  sedangkan  KSAD  Kolonel  A.H.  Nasution
                mengajukan  permintaan  berhenti  sebagai  pertanggungjawabanya  atas
                terjadinya peristiwa tersebut. Ia diberhentikan kemudian digantikan oleh
                Kolonel  Bambang  Sugeng.  Tanggal  22  November  pemerintah
                mengeluarkan keterangan  bahwa pada  tanggal 17 Oktober 1952 tidak
                terjadi coup atau percobaan coup. Pemerintah tidak dapat mewujudkan
                persatuan  di  lingkungan  Angkatan  Perang,  tetapi  hanya  berhasil
                mengusahakan  Angkatan  Perang  kembali  kepada  tugasnya  sehari-hari.
                Walau demikian peristiwa itu mulai menggoyahkan kabinet.





                                                                                 213
   220   221   222   223   224   225   226   227   228   229   230