Page 222 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 222

Pengayaan Materi Sejarah


                tahun  1939.  Sejak  itu  ia  membangun  kekuatan  untuk  menentang
                pemerintah.  Untuk  mencari  dukungan  ia  mengobarkan  sentimen
                kedaerahan  dan  sentimen  agama  (Islam).  Ia  mengadakan  kontak
                dengan  Kartosuwiryo  dengan  saling  mengirim  utusan  (Sjamsuddin,
                1990: 89-90).
                        Setelah  persiapannya  cukup,  pada  tanggal  21  September  1953
                Daud Beureueh memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari NII
                di  bawah  Kartosuwiryo.  Setelah  proklamasi,  mereka  menduduki  kota-
                kota  penting,  tetapi  gagal  menduduki  Banda  Aceh.  Serangan  paling
                hebat  dilancarkan  terhadap  kota  Takengon  yang  dapat  mereka  kuasai
                selama hampir tiga bulan.
                        Untuk    menghadapi      pemberontakan      tersebut,    TNI
                mendatangkan  pasukan  dari  Sumatra  Utara  dan  Tengah.  Kepolisian
                Negara mengerahkan satuan-satuan brigade mobil (brimob). Pada akhir
                bulan November 1953 kota-kota yang dikuasai oleh DI direbut kembali
                oleh  pasukan  pemerintah.  Para  pemberontak  mengundurkan  diri  ke
                hutan-hutan melancarkan perang gerilya, melakukan sabotase terhadap
                alat-alat perhubungan dan meneror rakyat. Untuk mengatasi gangguan
                keamanan,  Komandan  Daerah  Militer  Aceh  (KDMA)  Letnan  Kolonel
                Sjamaun  Gaharu  menerapkan  kebijakan  yang  disebut  “Konsepsi
                Prinsipiil Bijaksana”. Intinya adalah menerima para pemberontak dengan
                tangan terbuka bagi mereka yang ingin menghentikan perlawanan, dan
                menghancurkan  mereka  bagi  yang  masih  membangkang.  Pendekatan
                persuasif pun dilakukan dengan beberapa tokoh DI. Pada tanggal 5 dan
                7  Juli  1957  Sjamaun  Gaharu  yang  didampingi  oleh  M.  Insja  (Kepala
                Kepolisian Aceh) mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh DI yaitu
                Hasan Saleh, Hasan Ali, Gani Mutiara, Ustad Amin,  dan Pawang Leman
                di Desa Lamteh. Pertemuan itu melahirkan “Ikrar Lamteh” yang intinya
                kedua  pihak  sepakat  untuk  menghentikan  tembak-menembak  dan
                mengusahakan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Aceh.
                        Ikrar  Lamteh  menimbulkan  perpecahan  di  kalangan  DI.
                Kelompok  Hasan  Saleh  bersedia  berunding  dengan  pemerintah,
                sedangkan Daud Beureueh menolak. Pada bulan Mei 1959 pemerintah
                mengirim  misi  yang  dipimpin  oleh  Wakil  Perdana  Menteri  Mr.  Hardi
                untuk  berunding  dengan  kelompok  Hasan  Saleh.  Hasil  penting  dalam
                perundingan  itu  ialah  pemerintah  akan  memberikan  status  istimewa
                untuk  daerah  Aceh.  Akan  tetapi  Daud  Beureueh  menolak  hasil
                perundingan tersebut dan tetap melanjutkan pemberontakan. (Sujono,
                2008: 365).



                210
   217   218   219   220   221   222   223   224   225   226   227