Page 217 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 217
Untuk menghadapi pemberontakan ini, TNI melancarkan operasi
terhadap konsentrasi pasukan DI di Tembangrejo dan desa Pengarasan,
Kabupaten Brebes. Operasi dilanjutkan setelah masa revolusi. Bulan
Januari 1950 TNI membentuk komando tempur yang dinamai Gerakan
Banteng Negara (GBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini
(kemudian digantikan oleh Letnan Kolonel Bachrun). Tujuan utamanya
untuk memisahkan DI Jawa Tengah dengan DI Jawa Barat. GBN
merupakan suatu komando operasi gabungan yang kesatuan
tempurnya terdiri dari pasukan-pasukan Divisi Siliwangi, Divisi
Diponegoro, Divisi Brawijaya, dan Kesatuan Senjata Bantuan. Staf
komando GBN berada di Slawi, Tegal. (Basri, 2003: 142).
Dalam operasi-operasi yang dilancarkan GBN, banyak tokoh DI
yang terbunuh dan tertangkap. Amir Fatah pergi ke Jawa Barat karena
terus menerus dikejar dan diserang pasukan republik. Dia ke Ciamis
disertai sekitar 150 prajuritnya. Karena dikejar terus, akhirnya ia
menyerah di Cisayong pada tanggal 22 Desember 1950. Ketika sampai
di Ciamis ia memperkenalkan dirinya sebagai Komandan Tentara Islam
Jawa Tengah, tetapi rakyat bersikap masa bodoh.
Setelah menyerah, Amir Fatah memerintahkan komandan-
komandan bawahannya agar tetap tinggal di tempat mereka berada
dan menghubungi komandan-komandan tentara Republik setempat
untuk membicarakan syarat-syarat penyerahan. Beberapa pengikutnya
melaporkan diri, tetapi yang lain terus bertempur. Gerakan terhadap
sisa-sisa tentara Amir Fatah dilanjutkan sampai akhir tahun 1950-an
(Dijk, 1987: 134).
(3) DI/TII di Sulawesi Selatan
Pada masa revolusi di Sulawesi Selatan lahir berbagai laskar.
Mereka berjuang secara gerilya menghadapi Belanda. Sesudah masa
revolusi, para gerilyawan ini membentuk Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan (KGSS). KGSS meminta agar para gerilyawan diterima secara
keseluruhan menjadi anggota TNI/APRIS, dijadikan Brigade Hasanuddin
dan Kahar Muzakar, putra Sulawesi Selatan, sebagai panglimanya.
Kahar Muzakar selama revolusi berjuang di Jawa dan berpangkat letnan
kolonel.
Pemerintah tidak mengabulkan permintaan KGSS. Sesuai
dengan kebijakan demobilisasi, hanya anggota gerilyawan yang
memenuhi syarat dapat diterima sebagai anggota TNI/APRIS. Penolakan
ini mengecewakan KGSS. Mereka menganggap kebijakan ini tidak adil,
205