Page 125 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 125
DINAMIKA DALAM KEBERAGAMAN:
JEPANG, ETNIK TIONGHOA DAN PRIBUMI (1942-1945)
1942-1944 hanya terdapat 1 siswa Tionghoa (0,26%) dari total 377 siswa. Pada
104
angkatan 1944-1947 terdapat hanya dua Tionghoa (0,31%) dari total 636 siswa.
Jepang mewajibkan orang-orang Tionghoa minimal bisa menuliskan
namanya dalam huruf Tionghoa. Tampaknya hal itu hanya sepele, namun bagi
kaum peranakan yang sama sekali tidak pernah belajar bahasa yang sulit tersebut,
bisa membawa banyak kesulitan. Maka tidak heran bila pada awal pendudukan
105
106
Jepang, kursus bahasa Kuo Yu (Mandarin) berkembang dengan pesat. Pesertanya
mulai dari anak-anak drop-out sekolah Belanda hingga ke bapak-bapak, ibu-ibu dan
orang lanjut usia.
Dengan demikian, otomatis pada zaman Jepang tidak banyak anak
Tionghoa yang duduk di bangku pendidikan formal, kecuali di Sekolah Rakyat
Tionghoa saja. Ada satu hal yang harus dikatakan tentang pendidikan anak-anak
Tionghoa di Yogyakarta (dan juga di seluruh Jawa!) dalam periode Jepang, yakni
kemenangan kaum totok yang selalu mengidam-idamkan semua anak Tionghoa
menerima pendidikan Tionghoa, bukannya pendidikan Barat. "Mimpi lama" kaum
totok atas anak-anak peranakan yang tidak pernah bisa direalisasikan dalam zaman
Belanda kini menjadi kenyataan. Mulailah muncul satu generasi baru anak-anak
107
peranakan berpendidikan sekolah Tionghoa. Sekolah Tionghoa tampil menjadi
daya tarik bagi murid-murid peranakan hingga tahun 1966, saat sekolah Tionghoa
dibubarkan oleh Orde Baru
Kesatuan Semi Militer: Tokubetsu Kakyô Keibôtai
Ketika suasana peperangan mulai menunjukkan arah yang berbalik, Jepang mulai
berpikir untuk melibatkan etnik Tionghoa dalam pembelaan Jawa. 108 Beberapa
kesatuan semi-militer juga menerima anggota Tionghoa (misalnya Keibôdan)
namun hanya satu unit yang khusus diperuntukkan bagi Tionghoa, yaitu Tokubetsu
Kakyô Keibôtai, yang biasa disingkat Keibôtai.
Proses kelahiran Keibôtai cukup misterius, karena tidak diumumkan secara
transparan (misalnya dalam berita resmi pemerintah, Kan Po), seperti berbagai
kesatuan-kesatuan pribumi lainnya (Seinendan, Keibôdan dan PETA). Satu-satunya
pengumuman berasal dari Markas Besar Balatentara tertanggal 17 November
1944. 109 Struktur organisasinya tidak pernah diungkapkan secara jelas dalam
dokumen dan tidak semua perwira Jepang setuju dengan kesatuan ini, misalnya
Letnan Yanagawa Motoshige (yang sering dijuluki "Bapak Tentara PETA"). 110 Di
pihak lain, kalangan pribumi melihat dengan rasa tidak senang dan curiga pada
kesatuan ini, "…mengapa Jepang melibatkan orang-orang Tionghoa dalam
116