Page 139 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 139

DINAMIKA DALAM KEBERAGAMAN:
                        JEPANG, ETNIK TIONGHOA DAN PRIBUMI  (1942-1945)


            menyebut  angka  5,000  korban  sedangkan laporan Kenpeitai  menyebutkan  6,000.  Sumber-
            sumber  Tionghoa  menaksir  jauh  lebih  tinggi,  30-40,000  orang  korban.  Lihat  Cheah  Boon
            Keng, “The Social Impact of the Japanese Occupation of Malaya (1942-1945)”, dalam Alfred
            McCoy (ed), Southeast Asia Under Japanese Occupation  (New Haven: Yale, 1980), h. 119 catt
            6.
            52  Pada  bagian  ini  penulis  terutama  tergantung  pada  tulisan  Mitsuo  Nakamura,  "Jenderal
            Imamura  dan  Periode  Awal  Pendudukan  Jepang",  dalam  Akira  Nagazumi  (ed.),
            Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Yayasan Obor, 1988), h.
            1-37.
            53  Nakamura, "Jenderal Imamura", h. 11.
            54  Nakamura, "Jenderal Imamura", h. 14,
            55  Nakamura, "Jenderal Imamura", h. 15.
            56  Nakamura, "Jenderal Imamura", h. 17.
            57  Bandingkan dengan Twang, The Chinese Business, h. 72.
            58  Tsung-rong  Yang,  “A  Short  History  of  Anti-Chinese  Riots”,  dalam  Michael  R.Godley  &
            Grayson  J.Lloyd  (ed), Perspectives on  the  Chinese  Indonesians  (Adelaide:  Crawfurd House,
            2001), h. 45.
            59  The Kenpeitai in Java and Sumatra: Selections from the Authentic History of the Kenpeitai,
            by the National Federation of Kenpeitai Veterans' Associations; Diterjemahkan oleh Barbara
            Gifford Shimer & Guy Hobbs (Ithaca: Cornell MIP, 1986), h. 23, 25.
            60  "Tentang  Penjoesoenan Masjarakat Baroe  di  Poelau  Djawa (Keterangan dari  Pemerintah
            Gunseikanbu di Djakarta), Kan Po, 2 (I), 10 September 2602 (1942): 8 (ejaan disempurnakan
            dan cetak miring dari penulis).
            61   Meluasnya  kesediaan  untuk  “bekerja  sama”  tersebut  bukan  berarti  tidak  terdapat
            perlawanan  dari  golongan  Tionghoa.  Hal  ini  dibuktikan  dengan  munculnya  beberapa
            kelompok  perlawanan  bersenjata  Tionghoa  di  Jawa  pada  awal  pendudukan,  yang
            mayoritasnya berhubungan dengan pemerintah Chiang kai-shek di Tiongkok. Beberapa orang
            Tionghoa juga bergabung dengan kelompok-kelompok bawah tanah Belanda sebagai pribadi.
            Namun perlawanan tersebut tidak banyak memperoleh dukungan dari golongan Tionghoa
            dan dalam waktu singkat kelompok-kelompok tersebut bisa digulung oleh Jepang.
            62  Gunseikanbu (ed.), Orang-orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Yogyakarta: Gadjah
            Mada University Press, 1986), h. 462.
            63  Mr.  R.  Samsoedin,  "Poetjoek Pimpinan  Pergerakan Tiga  A: Instroeksi-Instroeksi",  Gambir
            Barat 2, Djakarta, tertanggal 18 Djoeni 2602, hlm. 1. Koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta.
            64  Mr. R. Samsoedin. "Poetjoek Pimpinan", hlm. 2
            65  Didi Kwartanada, "Kolaborasi dan Resinifikasi: Komunitas Cina Kota Yogyakarta pada Jaman
            Jepang", naskah belum diterbitkan, h. 269, 287-288.
            66  Mary F. Somers,“Peranakan Chinese Politics in Indonesia”, PhD Thesis, Cornell University,
            1965 106;
            67  G.J. Pratt, "The Japanese Occupation in Indonesia: The Role of Putera in the Development
            of Indonesian Nationalism", Thesis Honours Depatment of History, Monash Universty, 1974,
            h..5
            68  Kwartanada, "Kolanorasi dan Resinifikasi", h. 290-291.
            69  Pratt, "The Japanese Occupation", h.3.
            70  Kwartanada, "Kolanorasi dan Resinifikasi", h. 294-295.
            71  Kwartanada, "Kolanorasi dan Resinifikasi", h. 291-292.



                                             130
   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144