Page 137 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 137

DINAMIKA DALAM KEBERAGAMAN:
                        JEPANG, ETNIK TIONGHOA DAN PRIBUMI  (1942-1945)


            22  Pemimpin  Redaksi  Sin  Po,  Kwee  Kek  Beng,  menulis  dalam  otobiografinya,  bahwa  Bung
            Karno di  akhir  dekade  1920an mendatangi  Sin  Po  dan  mengharapkan  dukungan  atas satu
            majalah  yang  hendak  diterbitkannya.  Disebutkan  Kwee,  bahwa  Bung  Karno  “ingin  sekali
            rapatkan perhubungan dengan bangsa kita [Tionghoa] dan dengan Tiongkok”. Sehubungan
            dengan Sin Po ini, patut diingat bahwa lagu Indonesia Raya dimasyarakatkan pertama kali
            dalam majalah mingguan Sin Po (edisi 10 November 1928), karena W.R. Supratman waktu itu
            bekerja  di  media  tersebut.  Kwee  Kek  Beng,  Doea  Poeloe  Lima  Taon  Sebagi  Wartawan
            (Batavia: Kuo, 1947),  h.35-36; lihat juga Memoar Ang Yan Goan: Tokoh Pers Tionghoa yang
            Peduli  Pembangunan  Bangsa  Indonesia.  Penerjemah  Tan  Beng  Hok  (Jakarta:  Hasta
            Mitra/Yayasan Nabil, 2009), h.50.  Kedekatan pers Melayu-Tionghoa dengan kaum nasionalis
            Bumiputera  menyebabkan  Saeroen,  pemimpin  redaksi  “Pemandangan”  Batavia,  menulis
            pada tahun 1934, “Dirataken, soerat-soerat kabar Tionghoa jang terbit di Indonesia ini, tida
            ada jang menentang pergerakan bangsa saja, Indonesiërs”.  Lihat Saeroen, “Apa jang Toean
            Saeroen njataken”, dalam Mata-Hari nomor perdana, 1934, tanpa nomor halaman.
            23   Siauw  Giok  Tjhan,  Renungan  Seorang  Patriot  Indonesia,  h.45;  Suryadinata,  Dilema
            Minoritas Tionghoa, h.52-54.
            24  Sebetulnya masih ada satu lagi kelompok Tionghoa yang ikut aktif berjuang dalam masa
            Pergerakan Nasional, yakni kaum Tionghoa Muslim. Salah satu tokoh utamanya adalah Oey
            Tjeng  Hien  (1905-1988),  yang  kemudian  berganti  nama  menjadi  Abdul  Karim.  Dia  adalah
            salah satu pendiri Muhammadiyah di Bengkulu dan kemudian diangkat menjadi pimpinannya
            yang  pertama.   Lihat  otobiografinya, H. Abdul  Karim (Oey Tjeng Hien), Mengabdi  Agama,
            Nusa dan Bangsa: Sahabat Karib Bung Karno (Jakarta: Gunung Agung, 1982). Menariknya di
            tahun 1930-an banyak bermunculan gerakan Muslim Tionghoa, yang muncul diluar Jawa. Di
            Sulawesi,  Ong  Kie  Ho  (kelahiran  Toli-toli)  mendirikan  Partai  Islam.  Penguasa  takut  akan
            aktivitasnya dan dia dibuang ke Jawa tahun 1932. Di Medan tahun 1936, seorang Tionghoa
            totok, Yap A Siong dengan beberapa kawannya mendirikan Partai  Islam Tionghoa. Di tahun
            1933 di Makassar berdirilah Partai Tionghoa Islam Indonesia (PITII). Setahun kemudian PITII
            mendirikan  suatu  “Sekolah  Melayu”  dan  di  tahun  1936  menerbitkan  media  bernama
            “Wasilah”,  Denys  Lombard  dan  Claudine  Salmon,  “Ïslam  and  Chineseness”,  dalam  Alijah
            Gordon (ed.), The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago (Kuala Lumpur:
            Malaysia Sociological Research Institute, 2001), h.198.
            25  Mary Somers Heidhues, “Bystanders, Participants, Victims: The Chinese in Java and West
            Kalimantan,  1945-46”,  makalah  pada  Konperensi  NIOD,  Amsterdam,  29  April  2003,  h.1-2.
            (terjemahan  bebas).  Terimakasih  kepada  Ibu  Mary  Somers  untuk  ijin  mengutip  tulisan
            tersebut.
            26  Mengenai reaksi golongan Tionghoa di Hindia Belanda terhadap Perang Tiongkok-Jepang II,
            lihat Yoji Akashi, The Nanyang Chinese National Salvation Movement, 1937-1941 (Lawrence:
            University  of  Kansas,  1970);  Ken’ichi  Goto,  Returning  to  Asia:  Japan-Indonesia  Relations,
            1930s-1942 (Tokyo: Ryukei Shosha, 1997), bab 13; Peter Post, “Chinese Business Networks
            and Japanese Capital in South East Asia, 1880-1940”, dalam Rajeswary Ampalavanar Brown
            (ed), Chinese Business Enterprise in Asia  (London: Routledge, 1995), bab 9.
            27  Mengenai  patriotisme  orang  Kanton,  lihat  Akashi,  Nanyang  Chinese,  h.  33;  Peter  Post,
            "Chinese Business", h. 288.
            28  Kwee Kek Beng, Doea Poeloe Lima Taon. h. 45, 50, 63, 68-69
            29  Elsbeth Locher-Scholten, “European Images of Japan and Indonesian Nationalism Before
            1942”, dalam J. van Goor (ed.), The Indonesian Revolution (Utrecht: HES, 1986), h. 23.



                                             128
   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142