Page 199 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 199

HUBUNGAN INDONESIA-JEPANG
                                          1945-1958

            ekonomi dan kekayaan alam dari manajemen Belanda, yaitu dekolonisasi ekonomi.
            Konferensi  Meja  Bundar  pada  tahun  1949  mengizinkan  Belanda  untuk  tetap
            mempertahankan  modal  yang  telah  ditanam  di  Indonesia.  Pada  zaman  itu
            kebanyakan  perusahaan  besar  yang  ada  di  Indonesia  adalah  milik  Belanda  dan
            ekonomi Indonesia masih sangat dikuasai Belanda. Sukarno ingin mengambil alih
            perusahaan-perusahaan  itu (nasionalisasi),  tetapi untuk itu  perlu  dukungan  dana
            yang  bisa  menutup  kerugian  dan  kesulitan  yang  akan  timbul  sebagai  akibatnya.
            Dihitung  Sukarno  bahwa  dana  pampasan  berguna  untuk  mendukung  ekonomi
            Indonesia yang bergoyang sebagai akibat nasionalisasi aset dan menutupi kesulitan
            itu.
                    Menurut arsip Kementerian Luar Negeri Jepang, Sukarno pada November
            1953 sudah pernah membuka rahasia kepada Konjen Jepang, Fumihiko Kai, tentang
            keinginannya  menghapus  Economic  Union  dengan  Belanda  dan  mengadakan
            nasionalisasi aset Belanda. Sukarno menambah kata bahwa perlu bantuan Jepang
                                       44
            untuk melaksanakan rencana ini.
                    Pada tahun 1956 kabinet Ali Sastroamijoyo memberitahukan pemerintah
            Belanda  bahwa  Indonesia  memutuskan  Dutch-Indonesian  Union.  Dengan  ini
            Indonesia  menjadi  bebas  dari  ikatan  ekonomi  khusus  dengan  Belanda,  tetapi
            perusahaan Belanda masih tetap beroperasi di Indonesia.
                    Akhirnya pada bulan November 1957 Perdana Menteri Jepang, Nobusuke
            Kishi,  mengunjungi  Indonesia  dan  mengadakan  pembicaraan  bilateral  dengan
            Sukarno. Dalam kesempatan itu kedua pemimpin negara ini mencapai kesepakan
            total  tentang  pembayaran  pampasan,  Jumlah  pampasan  murni  yang  ditentukan
            ternyata agak kecil, hanya 223 juta dollar US atau 13% dari tuntutan semula. Tetapi
            Kishi  menerima  permintaan  Indonesia  untuk  melunaskan  hutang  impor  (sudah
            menjadi  kurang  lebih  200  juta  dollar  US  saat  itu)  dan  juga  memberi  bantuan
            ekonomi gratis (hibah) bernilai 400 juta dollar US. Jadi nilai totalnya kurang lebih
            800 juta dollar US dan ini hampir sama dengan jumlah pampasan (550 juta dollar
            US) ditamba dengan bantuan ekonomi (250 juta Dollar US) untuk Filipina, yaitu 800
            juta  dollar  US.  Jumlah  pampasan  kepada  negara-negara  lain  di  Asia  Tenggara
            sebagai  berikut:  Birma  (1955)  US$  200  juta  dan  Vietnam  Selatan(1959)  US  $  38
            juta.
                    Indonesia  cukup  puas  karena  dana  Jepang  itu  bisa  menjamin  mengisi
            kekurangan daya ekonomi yang diakibatkan nationalisasi asset Belanda. Kebetulan
            satu  hari  sesudah  perundingan  Sukarno-Kishi,  pada  28  November  1957  Dewan
            Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa menolak permohonan Indonesia mengenai
            Irian Barat, dan hal ini mendorong Indonesia untuk bergerak ke arah nationalisasi



                                             190
   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204