Page 46 - BUKU LIMA - DINAMIKA DAN PERANAN DPR RI DALAM MEMPERBAIKI KEHIDUPAN BERNEGARA PADA ERA REFORMASI 1998-2018
P. 46
Pemilu 1999 dan Pembentukan
Pemilu 1999 dan Pembentukan
Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat
asca Or
P
Pasca Orde Barude Baru
Menilik pada sejarahnya, proses pembahasan peraturan pemilu
sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Semenjak peristiwa Oktober
1952, pemerintah dan DPR mulai secara serius membahas peraturan
pemilu yang telah lama dijanjikan kepada masyarakat. Sistem yang
disepakati oleh partai-partai yang aktif dalam debat tersebut kala itu
adalah proporsional dengan provinsi sebagai wilayah pemilihan. Sisa suara
(suara yang belum cukup untuk membuahkan satu kursi) dipindahkan
ke daftar nasional untuk kemudian dibagi-bagi dalam tingkat nasional.
Setelah keruntuhan Orde Lama dan turunnya Presiden Soekarno
dari tampuk kePresidenan, RUU pemilu kemudian menjadi bahan
perdebatan kembali dan diikuti secara aktif oleh partai-partai serta
dengan TNI yang sudah memiliki wakil di DPR pada saat itu. Kala
itu TNI mengajukan usulan agar sistem pemilihan dilakukan melalui
konsep distrik-distrik, namun beberapa partai tidak setuju dan lebih
menghendaki sistem proporsional dengan alasan rakyat belum siap
menggunakan konsep distrik tersebut. Peran dari masyarakat umum
pada akhirnya tetap tidak tampak pada debat tersebut, pada akhirnya
kemudian hasilnya adalah sistem proporsional dengan provinsi sebagai
wilayah pemilihan.
Pola ini kemudian berlangsung pada masa reformasi, dimana pada
saat itu isu status dan hak politik pegawai negeri menjadi perdebatan
sengit yang dibahas dan menimbulkan polemik di Dewan. Partai Golkar,
kala itu menuntut agar pegawai negeri yang ada tetap mempunyai hak
dipilih dan menjadi anggota/pemimpin partai. Argumen yang dipakai
Golkar kala itu ialah “hak asasi” dimana menurutnya hak asasi seorang
...Golkar kala itu
pegawai negeri yang notabenenya merupakan individu masyarakat
ialah “hak asasi”... akan dibatasi dengan adanya pembatasan hak politik tersebut. Di sisi
lain, partai-partai yang ada menuntut agar pegawai negeri tidak lagi
dapat dipilih atau menjadi anggota/pimpinan daripada partai, dengan
argumentasi bahwa pegawai negeri terlalu lama menjadi kepanjangan
tangan atau alat daripada kekuasaan pemerintah (dalam konteks pemilu)
sehingga menjadi hak mereka untuk tidak lagi terlibat aktif dalam
politik praktis, serta untuk menjaga netralitas daripada pengabdiannya
terhadap negara. Konsep ini sendiri dalam pandangan partai-partai
tersebut dianggap sebagai suatu kebebasan yang hakiki, mengingat
melalui kebijakan tersebut para pegawai negeri tidak lagi dapat didikte
dan diinstruksikan untuk dapat mendukung salah satu dari organisasi
politik partai peserta pemilu.
57
57 Yayasan API, Panduan Parlemen Indonesia, Bogor : Grafika Mardi Yuana, 2001. Hal. 331.
SEJARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 39
REPUBLIK INDONESIA 1918 – 2018