Page 166 - Membangun Kadaster Lengkap Indonesia
P. 166
publikasi pendaftaran tanah menggunakan sistem negatif
bertendensi positif. Sebagai konsekuensinya, sertipikat hak atas
tanah harus dipandang sebagai bukti kuat yang dalam proses
penerbitannya telah dilakukan pemeriksaan tanah, baik untuk
memeriksa validitas dan otentitas subjek hak sebelum penetapan
haknya, maupun dalam proses penetapan batas untuk objeknya.
b) Praktik sistem pendaftaran tanah: Akta-akta peralihan hak
(deeds), bahkan bukti pajak lama seperti verponding, girik dan
semacamnya masih diterima sebagai alat bukti yang bernilai
positif di kalangan penegak hukum, termasuk pengadilan.
Penerimaan ini menimbulkan problematika yang tidak mudah
menyelesaikannya, apalagi bila ditunggangi oleh mafia tanah.
Pasal 32 PP No. 24/1997
(1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad
baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai
hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu yang
bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan ataupun tidak mengajukan gugatan
ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
Selain itu, dalam praktik penerapan sistem pendaftaran tanah di
Indonesia, juga tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip dan ciri-ciri
pendaftaran hak atas tanah yang aspek-aspeknya tercantum di dalam
Tabel II.4. di antaranya yaitu:
1. Aspek: Konsep hak atas tanah yang didaftarkan bukan merupakan
bukti mutlak kepemilikan.
2. Aspek: Sistem publikasi positif atau negatif, di mana pendaftaran
hak atas tanah Indonesia menganut sistem publikasi negatif.
3. Aspek: Batas-batas dan luasan bidang tanah seharusnya tidak
dijamin kebenarannya.
4. Aspek: Penjaminan dan asuransi negara tidak diberikan yang
berarti bahwa hak atas tanah tidak dijamin oleh negara.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem pendaftaran tanah di
Indonesia adalah sistem pendaftaran hak atas tanah yang memakai
sistem publikasi negatif sebagaimana negara Jerman, lihat Tabel II.5.
BAB 6 139
Bagaimana Membangun Kadaster Lengkap Indonesia