Page 121 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 121
96 Dwi Wulan Pujiriyani, dkk
konservasi, serta jarak dan akses jalan. Bank Dunia memang bukan
satu-satunya lembaga yang bekerja untuk membuat inskripsi.
Untuk menjelaskan praktik re-inskripsi dalam konteks
investasi global, Tania Li menampilkan ringkasan penelitian
yang dilakukannya di Sulawesi. Pada tahun 1990, penduduk asli
pegunungan tidak memiliki istilah ‘land’ (tanah). Kategori mereka
adalah hutan primer dan sekunder, tahun pertama tanah kosong
(bera), kebun aktif, tanah gundul. Kategori-kategori ini merupakan
deskripsi vegetasi yang secara simultan menjadi gambaran dari
sistem tenurial. Mereka menandai apa yang mereka sebut tanah
dengan cara menginvestasikan tenaga mereka, bekerja keras untuk
mengusahakan pertanian dari hutan. Setiap orang tahu siapa yang
memiliki, dan apa yang dimiliki. Karena mereka mengubah tanah
menjadi sumber daya- sebuah abstraksi tentang nilai yang terpisah
dari pemanfaatannya- mereka mengadopsi kata baru, penerjemahan
baru dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, ’lokasi’. Nama ini
diberikan sebagai bagian dari proses re-inskripsi. Pada tahap
selanjutnya, nama ini menandai satu bagian konseptual tentang
pemahaman dan relasi baru terhadap tanah. Praktik re-inskripsi
menggambarkan praktik lama, investasi tenaga kerja dan perubahan
vegetasinya. Pergeseran bersifat temporal dimana sekarang mereka
menanam tanaman pangan, khususnya kakao, yang dipahami
sebagai dampak dari privatisasi tanah, mengekstraksinya, dan
sekaligus menjadikannya investible dan transactable. Yang menarik
dalam hal ini adalah apa yang membuat mereka mengubah dirinya
tanpa menjadi bagian dari perampasan tanah (land grabbing).
Sejak di-reinskripsi oleh penduduk dataran tinggi Sulawesi,
mereka menyebutnya sebagai ‘lokasi’, yang dapat secara potensial
dimanfaatkan oleh orang-orang untuk berinvestasi di dalamnya. Hal
ini dikaitkan kembali oleh Li dengan cerita tentang penemuan emas
yang spektakuler di pedalaman hutan Kalimantan. Dalam konteks
ini, Li meminjam diagram Tsing untuk menunjukkan adanya segitiga:
franchise cronyism, inance capital dan frontier culture dalam
konteks spectacular accumulation. Franchise cronyism adalah rezim
otoritas politik legal yang memungkinkan adanya aliran keuangan
global ke dalam ruang nasional. Frontier culture (budaya pinggiran)