Page 291 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 291
266 Dwi Wulan Pujiriyani, dkk
Berdasarkan program pembangunan yang dianut Malaysia,
disebut Pembangunan Konsep Baru, pemilik-pemilik tanah adat
harus menyerahkan tanah mereka kepada pemerintah selama
60 tahun untuk dikembangkan, dalam kerangka kerja bersama
perusahaan-perusahaan swasta, yang mana pemerintah berperan
sebagai pemegang mandat dari masyarakat adat. Namun demikian,
relasi ini tidak memberi keuntungan yang signiikan bagi masyarakat
adat pemilik tanah. Hal ini berakibat mendoron demikian banyak
gugatan hukum ke pengadilan, terkait tuntutan masyarakat adat
terhadap tanah yang semestinya dikembalikan kepada mereka.
Dari 100 kasus yang diajukan ke pengadilan, 40 kasus di antaranya
merupakan kasus mengenai ladang perkebunan kelapa sawit.
Sengketa-sengketa yang mengemuka antara lain konlik-konlik dan
pertikaian-pertikaian atas tanah, kurangnya penghormatan terhadap
hak atas tanah adat, paksaan dalam kesepakatan, pelanggaran prinsip
free, prior and informed consent (FPIC), persoalan perwakilan, dana
kompensasi, pelanggaran prinsip Environmental Impact Assessment
(EIA), dan berbagai pungutan liar. Menurut Colchester, dkk, berbagai
upaya yang dilakukan pemerintah Sarawak juga dipandang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Roundtable on Sustainable Palm
Oil (RSPO). Bahkan berdasarkan investigasi lanjutan, ditemukan
anggota RSPO juga beroperasi di perkebunan kelapa sawit di Sarawak.
(VRP)
Keterangan: Artikel dapat diunduh di www.forestpeoples.org dan
www.sawitwatch.or.id
IV. 14. Colchester, Marcus dan Chao, Sophie, 2011, “Oil Palm
Expansion in South East Asia: Trends and Implications for
Local Communities and Indigenous Peoples”, Forest Peoples
Programme & Perkumpulan Sawit Watch
Kata kunci: kelapa sawit, ekspansi, Asia Tenggara, masyarakat adat,
komunitas lokal
Kajian mengenai kelapa sawit pada umumnya difokuskan pada
negara-negara pengekspor kelapa sawit utama, yaitu Indonesia