Page 299 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 299

274   Dwi Wulan Pujiriyani, dkk


            kekerasan, merupakan  hal yang lazim  terjadi pada  perampasan-
            perampasan  tanah. Konstelasi kekuatan  secara  khusus  merupakan
            bagian  dari jenis  perampasan  tanah  yang relatif  berbeda  dari peran
            penanaman  modal asing dan  pembiayaan  inansial. Manifestasi lain  dari
            perampasan tanah pada MIFEE adalah kesenjangan antara perencanaan
            teritorial, investasi, dan  aksi. Hal ini membuka  kesempatan  bagi
            resistensi terhadap  perampasan  tanah. Sebagaimana  diyakinkan  oleh
            Ginting dan  Pye, resistensi tersebut  sesungguhnya  telah  terorganisir
            sedemikian rupa, sehingga sangat dimungkinkan untuk menghentikan
            atau  menurunkan  rencana  fantastis  dari pemerintah  dan  perusahaan
            yang terlibat. Di waktu  yang sama, kemunculan  resistensi juga
            menunjukkan  beberapa  potensi strategis  juga  beberapa  keterbatasan.
            Kontradiksi antara  strategi keseharian  hutan, strategi teritori-etnis,
            dan  strategi reforma  agraria  merupakan  bukti dan  relevan  bagi latar
            resistensi lain dalam perjuangan di negara-negara lain. Ketiga strategi
            tersebut sangat saling terkait, dan bisa memperkaya dan meningkatkan
            performa model resistensi baru.
                Merunut pada De Schutter (2011:258), tantangan bagi kemunculan
            resistensi terhadap  MIFEE bisa  membangun  suatu  alternatif  lebih
            baik bagi investasi pertanian seputar program reforma agraria yang
            diadaptasi secara lokal. Seperti yang dikemukakan Li (2011:289-292),
            kesuksesan sangat tergantung pada bagimana hal tersebut dibangun,
            khususnya  manakala  para  petani gurem  memiliki kendali dan
            pemerintah  memberi dukungannya, atau  ‘bertumpu’ pada  buruh
            kontrak di perusahaan yang mendominasi bentang alam dari relasi
            agraria  yang diliberalisasi. Jelas  hal ini tidak  bisa  dicapai melalui
            inisiatif good governance  dari De  Schutter  (2011, 250), juga  bukan
            bagian dari Seven Principles for Responsible Agricultural Investment
            yang mana  keduanya  tentu  tidak  bisa  diterapkan  di Papua  Barat.
            Kemungkinan lebih tepat disebut sebagai apa yang disebut oleh Li
            (2011, 292) sebagai “hard-fought struggles”.

                Terkait  keretakan  antara  masyarakat  asli dan  dan  pendatang,
            strategi lain  dibutuhkan  sebagai alternatif  demi mempertemukan
            kedua  kelompok  petani rentan  tersebut. Alternatif  ini tidak  bisa
            dibangun oleh para ilmuwan di suatu konferensi namun harus sebagai
            hasil dari diskusi dan  argumentasi di antara  aktivis  yang bersama-
   294   295   296   297   298   299   300   301   302   303   304