Page 329 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 329

304   Dwi Wulan Pujiriyani, dkk


            daerah tempat tinggal suku Marind, dua perusahaan PT Papua Agro
            Lestari (PAL) dan PT Bio Inti Agrindo (BIA) hanya melakukan dua
            kali sosialisasi. Tidak ada perjanjian formal yang dilakukan dengan
            masyarakat, tetapi perusahaan  sudah  melakukan   pembayaran
            pada orang-orang tertentu. Sementara itu dalam kasus PT Indocin
            Kalimantan, mereka  melakukan  pertemuan   dengan  tiga  kepala
            distrik  dan  melakukan  sosialisasi serta  kajian  dampak  lingkungan
            di Jayapura. Meskipun demikian, perwakilan dari masyarakat, tidak
            diberi kesempatan  untuk  berbicara  tetapi justru  diminta  untuk
            menandatangani dokumen untuk melepaskan tanah-tanah mereka.
                Berkebun, mencari ikan  di laut  dan  rawa-rawa, serta  berburu
            binatang di hutan adalah bagian dari rutinitas yang telah dilakukan
            suku  Marind dari generasi ke  generasi. Hampir  97% komunitas
            memerlukan hutan, rawa, sungai dan laut. Ketika semua hutan adat
            Marind dikonversi untuk kepentingan bisnis, sulit membayangkan
            apa  yang kemudian  akan  dilakukan  oleh  suku  ini. Kenyataannya,
            proyek  MIFEE  semakin  memperburuk  kondisi penduduk  asli yang
            memiliki hak-hak  adat. Masyarakat  menganggap  bahwa  kehadiran
            investor  tidak  membawa  kesejahteraan  melainkan  mengundangan
            bencana. Beberapa  komunitas  kerapkali melakukan  demonstrasi
            untuk  menolak  ekspansi investasi berskala  besar  yang dilakukan
            melaui proyek  MIFEE. Tetapi aksi-aksi serupa  ini hanya  dianggap
            sebelah mata oleh pemerintah.

                Kajian  ini mencatat  dampak  yang harus  dihadapi penduduk
            asli akibat proyek MIFEE yaitu hilangnya hutan dan sumber pangan
            yang mendukung sumber penghidupan mereka, janji akan pekerjaan
            temporer dan jangka pendek, serta upah yang rendah bagi mereka
            yang bekerja di perkebunan, kebangkrutan bagi mereka yang telah
            menyerahkan  tanah-tanahnya  dan  menjadi buruh  di  perkebunan,
            hilangnya  basis  material dari berbagai budaya  penduduk  asli
            (hilangnya keanekaragaman bahasa karena ekspansi skala luas dari
            perkebunan monokultur), kelangkaan air akibat pembukaan hutan
            dan  pembangunan  jaringan  pengairan, termasuk  pencemaran  air
            akibat  penggunaan  pestisida  dan  pupuk  kimia, munculnya  konlik
            sosial antara  masyarakat  yang mendukung dengan  yang menolak
   324   325   326   327   328   329   330   331   332   333   334