Page 355 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 355
330 Dwi Wulan Pujiriyani, dkk
kontrol terhadap aspek-aspek produksi.
Land grabbing untuk perluasan wilayah konservasi dan
perubahan hutan menjadi kawasan pertambangan serta akuisisi
tanah untuk tujuan pembangunan infrastruktur terjadi atas inisiatif
aktor negara dengan legitimasi keberlanjutan lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat. Mekanisme landgrabbing dari dua studi
kasus yang ada menunjukan bahwa ada proses pemaksaan dengan
kekerasan baik isik maupun nonisik, faktanya landgrabbing terjadi
melalui mekanisme regulasi dan kekerasan. Regulasi memberikan
dasar hukum bagi hilangnya akses tanah bagi keluarga petani dan
buruh sehingga mereka terjebak dalam kemiskinan. Mekanisme
kekerasan juga membuat kemiskinan petani menjadi semakin dalam.
Kemiskinan harus dihadapi dan menjadi beban bagi perempuan.
Ketiadaan tanah menciptakan ketergantungan perempuan pada
biaya reproduktif, terutama untuk pemenuhan pangan. Hal ini
menjadi beban ‘baru’ bagi perempuan untuk mencukupinya dengan
membeli karena tidak bisa lagi memproduksinya sendiri. Politik
penghilangan yang dilakukan oleh negara termasuk kasus perluasan
kawasan konservasi bersamaan dengan isolasi pada pelayanan publik,
jaringan transportasi dan fasilitas komunikasi telah membatasi
akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan, kesulitan akses
pasar untuk hasil pertanian, telah memaksa perempuan untuk
mencari sumber penghidupan di kota. Hal ini menyebabkan
banyak perempuan menjadi pekerja di kota tanpa jaminan hidup
atau disebut Li dengan istilah ‘wasted’ (terbuang), atau displaced
(terusir). Proses dan situasi yang muncul dari perampasan tanah
menunjukkan bahwa masyarakat melepaskan hubungan mereka
dengan tanah, mereka tidak dapat memperoleh hidup yang lebih
baik seperti yang sebelumnya dijanjikan oleh negara.
(DWP)
Keterangan: Buku tersedia di perpustakaan Sajogyo Institut-Bogor