Page 356 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 356
Land Grabbing: Bibliografi Beranotasi 331
IV.47. Savitri, Laksmi Adriani. 2011. “Gelombang Akuisisi Tanah
untuk Pangan: Wajah Imperialisme Baru.” Makalah Seminar
Nasional Politik Penguasaan Ruang Berkeadilan.” Bogor:
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), 25 Januari 2011.
Kata Kunci: akuisisi tanah, pangan, sejarah, kolonialisme
Rezim pangan global adalah penjelasan awal yang dimunculkan
Savitri untuk membuka diskusi mengenai pengambilalihan tanah
berskala luas. Sejarah kolonialisme dan imperialisme di negara-
negara non-Eropa merupakan bentuk pengambilalihan tanah
untuk tujuan komersiil yang sudah lebih dulu terjadi. Sejarah
kolonialisme dan imperialisme di belahan Dunia Selatan atau
negara-negara Dunia Ketiga (Global South) sejak abad 16-17, sudah
menciptakan suatu tatanan dunia yang terbelah, yakni: wilayah-
wilayah perbesaran kekuasaan ekonomi dan politik di Dunia
belahan Barat yang mendapatkan sumber perbesaran kekuasaannya
melalui penghisapan dan pencaplokan beragam sumber daya di
Belahan dunia Selatan. Tatanan dunia saat itu dicipta-ulang melalui
cara-cara penguasaan tanah dan teritori secara isik dengan tujuan
memperluas kedaulatan negara-negara imperialis-kolonial melalui
penguasaan dan kontrol sumber-sumber kekayaan di wilayah-
wilayah jajahan. Sementara itu dalam globalisasi kontemporer, tidak
lagi beranalogi dengan imperialisme. Teritori tidak lagi menjadi
pusat. Penguasanya tak lagi berupa negara dan melampaui sekedar
batas teritori, serta bergerak hampir tanpa limit. Dengan memakai
konsep dari Mc Michael, Savitri menambahkan bahwa globalisasi
kontemporer hidup dari sumber yang sama, yakni: tekanan terhadap
sumber-sumber kekayaan alam di Dunia belahan Selatan. Negara-
negara poskolonial tetap pada posisi sama seperti ketika mereka
dijajah, yaitu: mereka tidak lagi mengkonsumsi apa yang mereka
produksi, tapi memproduksi dan mengekspor seluruh kebutuhan
pangan dunia di Belahan Barat dalam bentuk bahan mentah.
Dalam pengambilalihan tanah, Savitri menekankan bahwa
‘imej’ dan’ ‘persepsi’ menjadi sangat penting karena berperan dalam
menghidupkan dan meredupkan praktik itu sendiri. Wacana serba