Page 366 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 366
Land Grabbing: Bibliografi Beranotasi 341
perubahan iklim, dan meningkatkan produksi bahan bakar hayati.
Namun, tak satupun dari klaim tersebut berdiri dari landasan
pengkajian yang kokoh. Penelitian lapangan oleh Environmental
Investigation Agency (EIA) dan Telapak membuktikan bahwa
program ini tidak mempersiapkan komunitas Papua dengan baik,
sehingga komunitas lokal kerap terpikat, tertipu, dan terjadang
terpaksa melepaskan tanah yang begitu luas kepada konglomerasi
yang begitu kuat, yang di dukung oleh investor asing, dan difasilitasi
oleh pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat.
Manajemen sektor perkebunan di Papua sangat kacau-balau.
Tata kelola intitusi yang tidak jelas diantara pemerintah dalam
level dan agensi yang berbeda, kurangnya transparansi, dan
aspek-aspek lain, menciptakan wilayah abu-abu yang bisa dengan
gampang dieksploitasi oleh perusahaan perkebunan. Pemberian
izin pengelolaan hutan juga sangat sulit untuk ditata. Banyak
perusahaan telah terlebih dahulu beroperasi sebelum mendapat
izin. Bukti-bukti menunjukkan bahwa negosiasi-negosiasi antara
pemilik tanah adat dan perusahaan perkebunan selalu tidak sejajar
dan sangat eksploitatif. Sejumlah keuntungan yang dijanjikan –
misalnya sekolah, listrik, perumahan – jarang sekali diberikan.
Pembayaran kompensasi untuk tanah dan kayu selalu saja tidak
mencukupi. Anak-anak kecil telah diikutsertakan (diminta
tanda-tangan) dalam kesepakatan-kesepakatan tersebut untuk
memastikan bahwa kesepakatan tersebut tetap berlaku sampai
berdekade-dekade. Keuntungan ekspansi perkebunan secara masif
tersebut lebih terhubung dengan para konglomerat dan investor
asing dibandingkan dengan orang Papua sendiri.
Gagasan bahwa peningkatan produksi tanaman untuk bahan
bakar hayati dapat menangkis perubahan iklim sesungguhnya
adalah ilusi semata. Mengisi hutan Papua dengan pembukaan
lahan secara besar-besaran justru menjadi penyebab efek rumah
kaca yang lebih besar, dibandingkan keuntungan potensial dari
bahan bakar nabati tersebut. Oleh karena emisi gas efek rumah kaca
bersumber dari deforestasi, maka nasib hutan Papua merupakan
keprihatinan dunia. Pemerintah Indonesia sesungguhnya patut