Page 131 - Berangkat Dari Agraria
P. 131
108 Berangkat dari Agraria:
Dinamika Gerakan, Pengetahuan dan Kebijakan Agraria Nasional
Kepentingan investasi bermodal besar yang beraliran
“kapitalisme agraria” berhadapan dengan penganut “sosialisme
agraria”. Kita tengok, UU Pokok Agraria 1960, ia mencerminkan
realitas politik saat itu. UUPA berujung pada konsensus “neo-
populisme agraria”. Konsensus UUPA, mengakomodir kepentingan
pelipatgandaan modal besar di lapangan agraria, sekaligus
mendorong perluasan kepemilikan tanah bagi gologan ekonomi
lemah, utamanya kaum tani.
Perdebatan klasik antara ide-ide yang bernaung di bawah
payung “kapitalisme agraria” ini muncul pula saat pembahasan
RUU Pertanahan sebagai legislasi “di bawah payung” UUPA 1960.
Misalnya, masuknya substansi “Bank Tanah” untuk mengamankan
cadangan tanah bagi pembangunan infrastruktur adalah contoh
telanjangnya.
Kalangan “neo-populis” menolak “Bank Tanah” sejak dalam
ide. Jika membaca RUU Pertanahan, eksistensi “Bank Tanah” diatur
sebegitu besarnya ketimbang pengaturan reforma agraria sebagai
agenda mendasar bangsa. Ini baru satu contoh kontroversi.
Konsultasi luas
Apakah RUU Pertanahan dengan substansi seperti beredar
itu layak segera disahkan? Apakah para pimpinan partai politik
yang nasionalis dan berpikir kerakyatan tega melahirkan UU yang
berpotensi mengebiri semangat kebangsaan dan meminggirkan hak
rakyat banyak dari atas tanahnya?
Seyogyanya, RUU Pertanahan segera dibahas total bersama
ahli dan aktivis. Kalau tidak, masukan ia sebagai pekerjaan rumah
sekaligus prioritas utama untuk dibahas dan disahkan DPR Periode
2019-2024. Untuk mematangkan rancangannya, digelar konsultasi
publik yang luas dengan menjaring masukan ahli dan aktivis gerakan
masyarakat sipil di banyak tempat.
Jika penyusunannya optimal-partisipatif, UU Pertanahan
yang kelak lahir tak hanya berlegitimasi politik, melainkan punya
legitisasi sosial yang kokoh. *