Page 100 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 100
Masalah Agraria di Indonesia
Untuk daerah Surakarta dan Yogyakarta (Vorstenlan-
den), persewaan tanah diatur dengan Undang-undang sendiri
yang terkenal dengan nama Vorstenlandsch Grondhuurreg-
lement (VGHR) Stb. 1918 no. 20 berhubung dengan keadaan
dan sejarah tanah di daerah tersebut.
Sejak permulaannya, persewaan tanah di daerah tersebut
dijalankan atas prinsip bahwa “raja adalah pemilik tanah yang
tidak terbatas”, sedang rakyat adalah pemaro (deelbouwer)
dari tanah kepunyaan raja. Di samping harus menyerahkan
separo dari hasil tanah yang dikerjakan, rakyat juga harus
menyerahkan tenaga tanpa bayaran sebagai kewajiban heren-
dienst (rodi).
Pengertian atau tafsiran akan hak raja atas tanah ini dibe-
sar-besarkan oleh Belanda. Hal ini dilakukan sebab Belanda
akan mempergunakan kekuasaan raja yang semacam itu untuk
kepentingan dirinya. Maka kekuasaan raja atas rakyatnya
ditafsirkan begitu besar dan peraturan yang kemudian diada-
kan didasarkan atas tafsiran itu.
Tanah diberikan (dibagi-bagikan) kepada kaum keluarga-
nya atau pegawainya yang mendapat kepercayaan yang
dinamakan Patih (apanagehouder) oleh raja. Dengan penye-
rahan tanah ini kepada Patih, berpindahlah hak-hak kebesaran
raja secara in facto ke tangan Patih, dan raja tidak langsung
menguasai tanahnya.
Dalam menjalankan kewajibannya itu, Patih membagikan
tanah-tanah itu kepada pegawai-pegawai yang dinamakan
“Bekel” (rentmeester atau opzichter), yang berkewajiban
menjaga agar rakyat menjalankan kewajibannya dengan baik.
Untuk pekerjaan itu, Bekel tidak mendapat gaji, melainkan
mendapat tanah “lungguh” (ambtsveld, bengkok) yang diam-
79