Page 101 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 101
Mochammad Tauchid
bilkan 1/5 dari luas tanah di daerah bawahannya. Sisanya sa-
wah yang 4/5-nya itulah yang dikerjakan penduduk dengan
cara maro (dellbouw), dengan kewajiban menyerahkan separo
hasilnya, kemudian diganti dengan uang. Bekel berkewajiban
memberikan “bakti” kepada Patih, kewajiban ini biasa dibagi-
bagikan dan dibebankan kepada rakyat di dalam daerahnya.
Kesuburan tanah dan banyaknya penduduk daerah Sura-
karta dan Yogyakarta sangat menarik hati kaum pemodal
untuk menanamkan modalnya dalam lapangan pertanian di
daerah tersebut. Sudah sejak permulaan abad ke-19 kaum
pemodal mulai menyewa tanah dengan cara berhubungan
dengan Patih untuk mendapatkan tanah. Kemudian menyusul
peraturan pemerintah dengan Undang-undang persewaan
tanah tahun 1906 (Landhuur Reglement Stbl. 1906 no. 93),
dengan dasar bahwa orang-orang menyewakan tanah atas
nama Raja. Atas dasar itu pula maka kewajiban rakyat yang
dulunya untuk raja mulai berpindah untuk yang menyewa
tanah (sebagai raja baru).
Kaum pemodal menyewa tanah untuk diusahakan sebagai
onderneming. Tidak memarokan tanah kepada rakyat seperti
yang sudah-sudah, melainkan mengambil tanah itu separo
untuk diusahakan dengan ditanami tanaman yang laku di
pasaran dunia; seperti tebu, tembakau, dan nila. Tanah yang
1/5 dari luasnya tanah di desa tetap menjadi tanah bengkoknya
bekel. Sesudah tanah itu disewa oleh onderneming secara
otomatis akan menjadi pegawai onderneming lalu meneruskan
kewajiban yang lama; jika dulu untuk raja, sekarang untuk
onderneming.
Onderneming memakai tanah separonya saja untuk
keperluan bergiliran. Sebab hasilnya tidak akan memuaskan
80